Senin, 22 Oktober 2012

Masyarakat Madani


BAB I

PENDAHULUAN

A.Landasan Teoritis

            Menurut Aristoteles (384-322) masyarakat madani di pahami sebagai sistem kenegaraan dengan menggunakan istilah kolonia politik ( sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan).Konsepsi Aristoteles ini di ikuti oleh Marcos Tullios Cicero (106-43) dengan istilah Societis Civilies yaitu sebuah komonitas yang lain, tema yang dikedepan kan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk lainya sebagai kesatuan yang terorgenisasi.
Pada tahun 1767, wacana masayarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Fergoson dengan mengambil konteks sosio-kultural, Fergoson menekankan mayasrakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pahamnya ini digunakan untuk mengatisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki aksetuansi yang dengan sebelumnya. Konsep ini memunculkan Thomas Paine (1737-1803) yang menggunakan istilah masyrakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggap sebagai antithesis dari Negara, dengan demikian, maka masyrakat madani menurut Thomas Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan

B.Landasan Empiris
            Masyarakat madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa Inggris civil society yang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara itu harus berlaku kepada masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita ideal dari masyarakat madani adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada warga masyarakat yang berada di dalamnya.
Sebenarnya merupakan masalah yang sulit untuk mencari padanan kata civil society dalam bahasa Indonesia. Sebab istilah ini memiliki kandungan makna yang begitu luas. Peng-Indonesia-an kata per kata dirasa tidak memenuhi untuk menggambarkan makna yang terkandung dalam bahasa aslinya. Namun demikian bebapa cendekiawan kita telah berusaha memberikan padanannya. Salah satu yang paling terkenal adalah dari apa yang digagaskan oleh Nurcholis Madjid berupa masyarakat madani. Padanan ini beliau lontarkan dalam pembahasan tentang bagaimana masyarakat yang ideal dalam pandangan Islam, mengingat  latar belakang beliau sendiri adalah cendekiawan muslim Indonesia.
C.Permasalahan
1.      Apakah di Indonesia bisa membangun masyarakat madani dalam perspektip islam ?
2.      Bagaimana kaitanya dekmokrasi dan islam dalam membangun masyarakat madani ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.Masyarakat Madani Dalam Perspektif Islam

Melacak Istilah Masyarakat Madani
            Kata Madani berasal dari bahasa Arab مدن yang artinya menempati suatu tempat. Dari kata inilah kemudian dibentuk kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga lawan kata المدن adalah البادية  yang berarti kehidupan yang masih nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن   atau مدن. Kata مدني merupakan bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota (من أهل المدينة.).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata madani –juga kata hadlarah–, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani juga memiliki arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam konteks hukum, madani berarti bukan pidana. Sehingga, hukum perdata sering disebut قانون مدني, seperti undang-undang sipil perkawinan disebut dengan قان الزواج المدني. Ketika ada istilah civil society yang digunakan para pemikir barat untuk merujuk ciri khas masyarakat tertentu, maka diterjemahkan dengan المجتمع المدني, atau kemudian diindonesiakan menjadi masyarakat madani atau masyarakat sipil. Jika yang dimaksud masyarakat madani adalah civil society, maka untuk menilainya apakah sesuai dengan Islam atau bukan, kita harus melacak konsep civil society tersebut.
Gambaran Civil Society
Konsep pemerintahan yang sekarang banyak diterapkan oleh banyak negara sangat banyak dipengaruhi oleh para pemikir barat. Semisal penyebutan berbagai jenis pemerintahan. Dalam istilah pemikir barat, jika pemerintahan diserahkan kepada seseorang disebut dengan pemerintahan monarki. Bila diserahkan kepada sekelompok orang disebut aristokrasi. Sedangkan bila diserahkan kepada banyak orang atau rakyat disebut dengan demokrasi.
Kecenderungan umum yang sekarang terjadi, bentuk pemerintahan demokrasi ini paling diminati dibandingkan dengan dua bentuk lainnya. Demokrasi dianggap paling adil dan rasional, karena dalam mengelola negara melibatkan seluruh rakyat. Berbeda dengan bentuk monarki dan aristokrasi yang sangat mungkin melakukan kedzaliman kepada rakyatnya, maka persoalan seperti itu bisa dicegah dalam kehidupan demokrasi. Karena dalam demokrasi kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bagaimana mungkin rakyat akan mendzalimi dirinya sendiri. Namun demikian, fakta menunjukkan lain. Dalam demokrasi ternyata belum bisa menghindarkan diri dari bentuk-bentuk penindasan pada rakyat. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, sebenarnya pelibatan rakyat dalam pemerintahan hanya terjadi pada saat pemilu. Semua partai politik bertarung untuk memperebutkan suara rakyat agar memilihnya. Caranya dengan mengobral janji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah pemilu, tidak lagi terjadi hubungan partai politik dengan rakyat pemilih. Tidak pula terjadi mekanisme kontrol antara rakyat pemilih dengan parpol. Sehingga parpol dalam rangka untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan bisa dengan mudah mengubah program-program yang disodorkan kepada masyarakat. Demikian juga ketika kekuasaan sudah di dapat rakyat tidak dilibatkan dalam mengelola negara. Rakyat kembali dirayu manakala musim pemilu tiba. Janji-janji memperjuangkan aspirasi kembali diobral dalam panggung kampanye. Kedua, dalam demokrasi sangat memungkinkan terjadinya bentuk dominasi mayoritas atas minoritas. Karena dalam demokrasi yang diperhatikan adalah jumlah suara, tentu saja dalam setiap pembuatan perundangan dan kebijakan akan dimenangkan oleh suara mayoritas. Hal ini sangat memungkinkan terjadinya penindasan mayoritas atas minoritas. Kemungkinan ini semakin terbuka lebar karena kekuasaan secara pasti dipegang oleh mayoritas.
            Untuk menutup aspek negatif demokrasi itu, maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol yang amat kuat dari masyarakat. Agar memiliki kekuatan yang cukup, maka kontrol itu harus dilakukan oleh lembaga-lembaga otonom sebagai perimbangan pada kekuasaan negara. Dalam konteks ini berarti harus selalu ada lembaga atau individu yang berhadapan dengan kekuasaan negara. Kekuatan inilah yang disebut dengan oposisi. Kelompok oposisi ini dianggap sebagai rakyat yang diperintah atau kekuatan sipil. Rakyat harus diberi kebebasan untuk mengartikulasikan gagasan dan aspirasinya, tanpa mendapatkan tekanan dan dominasi negara. Konsep penataan masyarakat seperti inilah yang disebut dengan masyarakat madani. Sehingga adanya kelompok oposisi merupakan salah satu ciri penting dalam masyarakat madani, bahkan merupakan sebuah keharusan. Ciri lain dari masyarakat madani adalah pluralisme. Pluralisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus lah dibagi-bagikan kepada berbagai golongan dan tidak dibenarkan adanya monopoli suatu golongan. Pluralisme juga suatu paham yang menoleransi pemikiran yang beragam (agama, budaya, peradaban, teknologi dll) dalam masyarakat.
            Dari paparan di atas, konsep masyarakat madani sebenarnya masih merupakan bentuk turunan dari konsep demokrasi. Sebab, konsep masyarakat madani masih belum beranjak dari ide dasar demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Konsep masyarakat madani masih satu lingkup dengan demokrasi dan justru yang bertujuan untuk menutupi borok-borok demokrasi. Berarti untuk mengkaji konsep masyarakat madani ini dalam pandangan Islam, harus dikaji terlebih dahulu pandangan demokrasi dalam pandangan Islam.
            Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.
1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Fakta model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
C.Masyarakat Madani Menurut Undang-Undang
            Kemudian masyarakat madani menurut perundang-undangan ialah “bahwa menurut mereka untuk terwujudnya masyarakat madani yang taat hokum, berperadaban modern, demokratis, makmur adil, dan bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsure aparatur Negara yang bertugas abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata, menjaga kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada pancasila dan perundang-undangan”.
D. Islam Versus Demokrasi
            Sumber kemunculan demokrasi adalah manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala sesuatu adalah akal manusia.
            Sedangkan Islam sangat bertolak belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah saw. Lihat QS. An-Najm: 3-4, QS. Al Qadr: 1.
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” (QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
            Adapun aqidah yang melahirkan ide demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara (sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi) antara para rohaniwan Kristen–yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan dijadikan tunggangan untuk mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, menghisap darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di bawah peraturan agama - dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama, tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi alasan pemikiran (Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah–yakni hukum-hukum syara’ yang lahir dari Aqidah Islamiyah–dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan. Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
E. Demokrasi dalam pandangan Islam
            Mengenai ide yang melandasi demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok: Pertama, kedaulatan di tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi menetapkan bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
            Rakyat berhak menetapkan konstitusi, peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan konstitusi, peraturan dan hukum apa pun menurut pertimbangan mereka berdasarkan kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat juga berhak mengubah sistem republik presidensil menjadi republik parlementer atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi misalnya di Perancis, Italia, Spanyol, Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.
Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama (Animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa yang lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT saja lah yang layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengabdosian ide kebebasan individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam sebuah aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai Musyarri’. Allah SWT berfirman :
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Nisaa’ :65)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
Masih ada puluhan ayat dan hadits lain seperti QS. An Nisaa’: 60, QS. Al Maidah: 50, QS. An Nuur: 63, QS. An Nisaa’: 59, QS. Asy-Syuura: 10 dan lain -lain, dengan pengertian yang qath’i (pasti), yang menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, yakni bahwa Allah saja lah yang menjadi Musyarri’, bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak terdapat bai’at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah” (HR. Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan :
“Kami telah membai’at Nabi saw untuk mendengar dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai” (HR Bukhari).
Di samping itu masih banyak hadits lain yang menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di tangan umat –yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk memerintah umat melalui prosesi bai’at– akan tetapi syara’ tidak memberikan hak kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak memerintahkan ma’shiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah saw bersabda: ‘Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci, maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah, sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya, maka Mahkamah Mazhalim yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan pemberhentian khalifah.

F.Konsep Masyarakat dalam Islam
            Berbeda dengan masyarakat madani yang mengharuskan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan negara, bagi Islam konsep masyarakat adalah suatu yang utuh, tak terpecah. Islam memandang bahwa individu merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari jama’ah. Jama’ah tak bisa dipisahkan dari keberadaan Daulah (negara). Bagai tangan yang merupakan bagian dari tubuh. Dengan amat indahnya Rasulullah menggambarkan dengan sabdanya :
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya adalah bagaikan kaum yang menumpang sebuah kapal. Sebagian mereka berada di atas sebagian lainnya berada di bawah. Jika orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang berada di atasnya. Lalu mereka berkata: “Andai saja kami lubangi (kapal ini) pada bagian kami, tentu kami tak akan menyakiti orang yang berada di atas kami. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh mereka yang berada di atas (padahal mereka tidak menghendaki) akan binasalah seluruhnya. Dan jika mereka menghendaki keselamatan –dengan mencegahnya– maka akan selamatlah semuanya” (HR.Bukhori No 2493 dan 2686).

G. Prinsip-Prinsip Masyarakat Madani
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar masyarakat madani (islami) sebagaimana di ungkapkan dalam Al-Quran dan sunah adalah meliputi:
1. Persaudaraan
2. Persamaan
3. Toleransi
4. Amar ma’ruf-nahi munkar
5. Musyawarah
6. Keadilan
7. Keseimbangan

Allah Swt berfirman:
            Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
            Dalam prinsip persaudaraan mengingatkan pada kejadian manusia yang berasal dari sumber yang sama, baik laki-laki maupun perempuan (Q 49:10). Di ayat tersebut dijelaskan Nabi Muhammad Saw seorang mukmin terhadap mukmin lainnyan laksana suatu bangunan yang unsur-unsurnya saling menguatkan. Hal ini berarati bahwa suatu masyarakat harus hidup bergotong royang, tolong menolong, dan saling membantu. Dalam prinsip persamaan menunjukan bahwa manusia itu sama, perbedaan kebangsaan, keturunan, jenis kelamin, kekayaan dan jabatan, tidak mengubah posisi seseorang di hadapan Allah Swt. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya terletak pada iman dan taqwa (IMTAQ)nya kepada Allah Swt. Dalam prinsip kemerdekaan meliputi bidang agama, politik, dan ekonomi.
H. Pilar penyangga atau pendukung masyarakat Madani
Pilar penyangga atau pendukung Masyarakat Madani diantaranya:
1. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM)
2. Pers (media masa, telepisi, radio,dll)
3. Supermasi Hukum
4. Peran Perguruan Tinggi
5. Partai Politik
G. Strategi-strategi yang menunjukan Masyarakat Madani di
Indonesia.
Ada tiga strategi yang menunjukan masyarakat Madani di
Indonesia diantaranya:
1. Strategi lebih mementingkan intregrasi national dan
politik atau stuktural
2. Strategi mengutamakan reformasi sistem politik yang
sekarang di jalankan
3. Strategi membangun masyarakat madani atau kultural
I.Menurut Para Ahli ( Teori )
(a) Aristoteles (384-322 SM), masyarakat madani dipahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
(b) Adam Ferguson (1767), ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan social yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara public dan individu.
(c) Thomas Paine (1737-1803), ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari Negara. Dengan demikian, maka Negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang di mana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
(d) GWF Hegel (1770-1851 M), struktur social terbagi tiga entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikana keharmonisan. Masyarakat madani merupakan alokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara Negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
(e) Karl Marx (1818-1883 M), masyarakat madani sebagai ‘’masyarakat borjuis’’ dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas’’.
(f) Alexis de Tocquevile (1805-1859 M), masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan Negara. Kekuatan politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dari kapasitas politik di dalam masyarakat madani, maka warga Negara akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan Negara.
(g) Prof. Nafsir Alatas Masyarakat Madani berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu musyarakah dan madinah

























BAB III
PENUTUP

A.KESIMPULAN
            Masyarakat madani adalah sebuah masyarakat dimana penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan pertumbuhannya. Sebagai kesatuan social, masyarakat madani merupakan kumpulan manusia yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasrkan moralitas keagamaan, baik dalam proses intraksi antar individu maupun secara kolektif.
            Beradasarkan pentingnya moralitas agama itulah, tampaknya denokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi social yang otonom pada gilirannya hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik social dan politik yang berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku, asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan kelompok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan bernegara.
B.SARAN
            Setelah kita amati dari segi karakteristik dan pilar penegak masyarakat madani memiliki berbagai kesamaan dalam konsepsi Islam sebagai agama yang membawa ajaran kedamaian buat umat dan menjadi agama yang memiliki peradaban yang tinggi seperti yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat Madinah pada zaman dahulu. Dengan demikian, walaupun terdapat pro-kontra mengenai istilah civil society dan masyarakat madani dalam makna, akan tetapi dalam substansinya merupakan istilah yang mempunyai tujuan mulia yakni membentuk suatu tatanan baru dalam masyarakat yang mempunyai peradaban tinggi.










DAPTAR PUSTAKA

Adi Surya Culla. 1999. Masyrakat Madani : pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Komara Endang. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Multazam.

Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Arifin, Syamsul. Islam Indonesia (Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi). Cet. 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2003.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar