Senin, 25 November 2013

Penegakan Hukum UU KDRT Ditinjau Dalam Perspektif Sosiologis Hukum



                                        
                                            I. PENDAHULUAN
             
 Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras.
            
 Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat.
             
Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
            
 Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai di dalam rumah tangga.
              Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.


































II.PERMASALAHAN

              Berdasarkan latar belakang pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin dibahas adalah “ Bagaimana prospek penegakan hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari persepktif sosiologi hukum ?“





































III.PEMBAHASAN

             Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books”
             
Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
             
Sementara itu, Lawrence M. Friedman melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal Structure).
            
 Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
              
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
              
Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
              
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
               
Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field (Moore, 1983).
                
Moore juga mengatakan bahwa di antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara. Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang paling ditaati.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat.           Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
              
Disini Penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya.
             
Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
              
Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
               Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
              
Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
               
Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini.
               
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain.
               
Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
              
Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
              
Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
             
Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.















IV. K E S I M P U L A N / P E N U T U P

                  Dilihat dari segi sosiologi hukum, prospek penegakan hukum UU PKDRT akan sulit ditegakkan karena banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama kultur budaya masyarakat Indonesia yang patriakhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai makhluk inferior/lemah.




































DAFTAR PUSTAKA



Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.

Minggu, 09 Juni 2013

Kartu Tanda Penduduk elektronik

Kartu Tanda Penduduk elektronik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Logo e-KTP
Kartu Tanda Penduduk elektronik atau electronic-KTP (e-KTP) adalah Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang dibuat secara elektronik, dalam artian baik dari segi fisik maupun penggunaannya berfungsi secara komputerisasi.[1] Program e-KTP diluncurkan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada bulan Februari 2011 dimana pelaksanannya terbagi dalam dua tahap. Tahap pertama dimulai pada tahun 2011 dan berakhir pada 30 April 2012 yang mencakup 67 juta penduduk di 2348 kecamatan dan 197 kabupaten/kota. Sedangkan tahap kedua mencakup 105 juta penduduk yang tersebar di 300 kabupaten/kota lainnya di Indonesia. Secara keseluruhan, pada akhir 2012, ditargetkan setidaknya 172 juta penduduk sudah memiliki e-KTP.[2] [3]

Daftar isi

Konsep

Secara sederhana, e-KTP berasal dari kata electronic-KTP, atau Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau sering disingkat e-KTP. Lebih rincinya, menurut situs resmi e-KTP, KTP elektronik adalah dokumen kependudukan yang memuat sistem keamanan/pengendalian baik dari sisi administrasi ataupun teknologi informasi dengan berbasis pada basis data kependudukan nasional.[4]

Latar belakang

Program e-KTP dilatarbelakangi oleh sistem pembuatan KTP konvensional/nasional di Indonesia yang memungkinkan seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP. Hal ini disebabkan belum adanya basis data terpadu yang menghimpun data penduduk dari seluruh Indonesia. Fakta tersebut memberi peluang penduduk yang ingin berbuat curang dalam hal-hal tertentu dengan manggandakan KTP-nya. Misalnya dapat digunakan untuk:[5][4]
  1. Menghindari pajak
  2. Memudahkan pembuatan paspor yang tidak dapat dibuat diseluruh kota
  3. Mengamankan korupsi atau kejahatan/kriminalitas lainnya
  4. Menyembunyikan identitas (seperti teroris)
  5. Memalsukan dan menggandakan ktp
Oleh karena itu, didorong oleh pelaksanaan pemerintahan elektronik (e-Government) serta untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menerapkan suatu sistem informasi kependudukan yang berbasiskan teknologi yaitu Kartu Tanda Penduduk elektronik atau e-KTP.

Dasar hukum

  • Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, dijelaskan bahwa:[4]
"penduduk hanya diperbolehkan memiliki 1 (satu) KTP yang tercantum Nomor Induk Kependudukan (NIK). NIK merupakan identitas tunggal setiap penduduk dan berlaku seumur hidup".
Nomor NIK yang ada di e-KTP nantinya akan dijadikan dasar dalam penerbitan Paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), Polis Asuransi, Sertifikat atas Hak Tanah dan penerbitan dokumen identitas lainnya.
  • Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan, yang berbunyi:[4]
    • KTP berbasis NIK memuat kode keamanan dan rekaman elektronik sebagai alat verifikasi dan validasi data jati diri penduduk
    • Rekaman elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi biodata, tanda tangan, pas foto, dan sidik jari tangan penduduk yang bersangkutan
    • Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk disimpan dalam basis data kependudukan
    • Pengambilan seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan pada saat pengajuan permohonan KTP berbasis NIK, dengan ketentuan : Untuk WNI, dilakukan di kecamatan; dan untuk orang asing yang memiliki izin tinggal tetap dilakukan di instansi pelaksana
    • Rekaman sidik jari tangan penduduk yang dimuat dalam KTP berbasis NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi sidik jari telunjuk tangan kiri dan jari telunjuk tangan kanan penduduk yang bersangkutan;
    • Rekaman seluruh sidik jari tangan penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
    • Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perekaman sidik jari diatur oleh Peraturan Menteri

Fungsi dan format e-KTP

Fungsi e-KTP

  1. Sebagai identitas jati diri[6]
  2. Berlaku nasional, sehingga tidak perlu lagi membuat KTP lokal untuk pengurusan izin, pembukaan rekening Bank, dan sebagainya[6]
  3. Mencegah KTP ganda dan pemalsuan KTP[6]
  4. Terciptanya keakuratan data penduduk untuk mendukung program pembangunan[6]

Format e-KTP

Struktur e-KTP terdiri dari sembilan layer yang akan meningkatkan pengamanan dari KTP konvensional. Chip ditanam di antara plastik putih dan transparan pada dua layer teratas. Chip ini memiliki antena didalamnya yang akan mengeluarkan gelombang jika digesek. Gelombang inilah yang akan dikenali oleh alat pendeteksi e-KTP sehingga dapat diketahui apakah KTP tersebut berada di tangan orang yang benar atau tidak. [7] Untuk menciptakan e-KTP dengan sembilan layer, tahap pembuatannya cukup banyak, diantaranya:
  1. Hole punching, yaitu melubangi kartu sebagai tempat meletakkan chip[7]
  2. Pick and pressure, yaitu menempatkan chip di kartu[7]
  3. Implanter, yaitu pemasangan antenna (pola melingkar berulang menyerupai spiral)[7]
  4. Printing,yaitu pencetakan kartu[7]
  5. Spot welding, yaitu pengepresan kartu dengan aliran listrik[7]
  6. Laminating, yaitu penutupan kartu dengan plastik pengaman[7]
e-KTP dilindungi dengan keamanan pencetakan seperti relief text, microtext, filter image, invisible ink dan warna yang berpendar di bawah sinar ultra violet serta anti copy design. Penyimpanan data di dalam chip sesuai dengan standar internasional NISTIR 7123 dan Machine Readable Travel Documents ICAO 9303 serta EU Passport Specification 2006. Bentuk KTP elektronik sesuai dengan ISO 7810 dengan format seukuran kartu kredit yaitu 53,98 mm x 85,60 mm.[7]

Keunggulan dan kelemahan e-KTP

Keunggulan e-KTP

Berdasarkan pernyataan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di situs remi e-KTP, Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) yang diterapkan di Indonesia memiliki keunggulan dibandingkan dengan e-KTP yang diterapkan di RRC dan India. e-KTP di Indonesia lebih komprehensif. Di RRC, Kartu identitas elektronik (e-IC) nya tidak dilengkapi dengan biometrik atau rekaman sidik jari. Di sana, e-IC hanya dilengkapi dengan chip yang berisi data perorangan yang terbatas. Sedang di India, sistem yang digunakan untuk pengelolaan data kependudukan adalah sistem UID (Unique Identification Data), sedangkan di Indonesia namanya NIK (Nomor Induk Kependudukan). UID diterbitkan melalui pendaftaran pada 68 titik pelayanan, sedangkan program e-KTP di Indonesia dilaksanakan di lebih dari 6.214 kecamatan. Dengan demikian, e-KTP yang diterapkan di Indonesia merupakan gabungan e-ID RRC dan UID India, karena e-KTP dilengkapi dengan biometrik dan chip.[8]
E-KTP juga mempunyai keunggulan dibandingkan dengan KTP biasa/KTP nasional, keunggulan-keunggulan tersebut diantaranya:[8]
  1. Identitas jati diri tunggal
  2. Tidak dapat dipalsukan
  3. Tidak dapat digandakan
  4. Dapat dipakai sebagai kartu suara dalam Pemilu atau Pilkada (E-voting)
Selain itu, sidik jari yang direkam dari setiap wajib e-KTP adalah seluruh jari (berjumlah sepuluh), tetapi yang dimasukkan datanya dalam chip hanya dua jari, yaitu jempol dan telunjuk kanan. Sidik jari dipilih sebagai autentikasi untuk e-KTP karena memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut:[8][7]
  1. Biaya paling murah, lebih ekonomis daripada biometrik yang lain
  2. Bentuk dapat dijaga tidak berubah karena gurat-gurat sidik jari akan kembali ke bentuk semula walaupun kulit tergores
  3. Unik, tidak ada kemungkinan sama walaupun orang kembar

Kelemahan e-KTP

Dalam pelaksanaannya, penggunaan e-KTP terbukti masih memiliki kelemahan. Misalnya tidak tampilnya tanda tangan sipemilik di permukaan KTP. Tidak tampilnya tanda tangan di dalam e-KTP tersebut telah menimbulkan kasus tersendiri bagi sebagian orang. Misalnya ketika melakukan transaksi dengan lembaga perbankan, e-KTP tidak di akui karena tidak adanya tampilan tanda tangan. Ada beberapa kasus pemegang e-KTP tidak bisa bertransaksi dengan pihak bank karena tidak adanya tanda tangan. Tanda tangan yang tercetak dalam chip itu tidak bisa dibaca bank karena tak punya alat (card reader). Akhirnya pihak pemegang e-KTP terpaksa harus meminta rekomendasi dari Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk meyakinkan bank.[9]
Mendagri Gamawan Fauzi telah menyampaikan melalui surat edaran resmi nomor: No. 471.13/1826/SJ bahwa e-KTP tidak diperkenankan difotokopi untuk menghindari kesalahan fatal terkait pembacaan menggunakan card reader. [10]

Syarat dan prosedur pengurusan e-KTP

Syarat

  1. Berusia 17 tahun[8]
  2. Menunjukkan surat pengantar dari kepala desa/kelurahan[8]
  3. Mengisi formulir F1.01 (bagi penduduk yang belum pernah mengisi/belum ada data di sistem informasi administrasi kependudukan) ditanda tangani oleh kepala desa/kelurahan[8]
  4. Foto kopi Kartu Keluarga (KK)[8]

Prosedur

Bagan prosedur pembuatan e-KTP[8]
  1. Pemohon datang ketempat pelayanan membawa surat panggilan
  2. Pemohon menunggu pemanggilan nomor antrean
  3. Pemohon menuju keloket yang telah ditentukan
  4. Petugas melakukan verifikasi data penduduk dengan basis data
  5. Petugas mengambil foto pemohon secara langsung
  6. Pemohon membubuhkan tanda tangan pada alat perekam tandatangan
  7. Selanjutnya dilakukan perekaman sidik jari dan pemindaian retina mata
  8. Petugas membubuhkan tandatangan dan stempel pada surat panggilan yang sekaligus sebagai bukti bahwa penduduk telah melakukan perekaman foto,tanda tangan dan sidik jari
  9. Pemohon dipersilahkan pulang untuk menunggu hasil proses pencetakan 2 minggu setelah pembuatan[8]

Perbedaan e-KTP dengan KTP Nasional

e-KTP tentu saja memiliki perbedaan dari KTP Nasional sebelumnya. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada tabel berikut :
No. Jenis KTP Karakteristik Teknologi Validitas/Verifikasi Gambar
1 KTP Nasional 2004[11]
  • Foto dicetak pada kartu
  • Tanda tangan/ cap jempol
  • Data tercetak dengan komputer
  • Berlaku nasional
  • Tahan lebih lama (tidak mudah lecek)
  • Bahan terbuat dari plastik
  • Nomor serial khusus
  • Gulloche Pattrens pada kartu
  • Hanya untuk keperluan ID
  • Pemindaian foto dan tanda tangan/cap jempol
  • Pengawasan dan verifikasi pengesahan dari tingkat terendah RT/RW dan seterusnya
KTP Nasional[8]
2 E-KTP[11]
  • Foto dicetak pada kartu
  • Data tercetak dengan komputer
  • Berlaku nasional
  • Mampu menyimpan data
  • Data dibaca/ditulis dengan pembaca kartu (card reader)
  • Bahan terbuat dari PVC/PC
  • Nomor serial khusus
  • Gulloche Patterns pada kartu
  • Pemindaian foto dan tanda tangan/cap jempol
  • Terdapat mikrochip sebagai media penyimpan data
  • Menyimpan data sidik jari biometrik sebagai satu identifikasi unik personal
  • Mampu menampung seluruh data personal yang diperlukan dalam multi aplikasi.
  • Pengawasan dan verifikasi pengesahan dari tingkat terendah RT/RW dan seterusnya
  • Multi aplikasi
  • Diterima secara internasional
  • Tidak bisa dipalsukan/digandakan
  • Hanya satu kartu untuk satu orang
  • Satu orang satu kartu (menggantikan kartu lain)
  • Tingkat kepercayaan terhadap keabsahan kartu sangat tinggi.
e-KTP[8]

Penerapan

Presiden SBY bersama Ibu Ani sedang membuat e-KTP di Cikeas
Penerapan KTP Elektronik (e-KTP) merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) nomor 23 tahun 2006 dan serangkaian peraturan lainnya seperti peraturan UU nomor 35 tahun 2010 yang menyatakan aturan tata cara dan implementasi teknis dari e-KTP yang dilengkapi dengan sidik jari dan chip. Program e-KTP di Indonesia telah dimulai semenjak tahun 2009 dengan ditunjuknya empat kota sebagai proyek percontohan e-KTP nasional. Adapun kota tersebut adalah Padang, Makasar, Yogyakarta, dan Denpasar. Ditunjuknya empat kota ini sesuai dengan Surat Dirjen Administrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri nomor 471. 13/ 3350/MD tentang pelaksanaan e-KTP berbasis NIK Nasional di empat kota percontohan tersebut. Sedangkan penerapan e-KTP secara nasional baru dimulai pada bulan Februari 2012, meliputi 2348 kecamatan dan 197 kabupaten/kota pada tahun 2011 dan di 3886 di kecamatan dan 300 di kabupaten/kota pada tahun 2012.[12]
E-KTP sangat perlu untuk dapat menciptakan sistem administrasi kependudukan yang rapi dan teratur dalam rangka mempermudah pemberian pelayanan publik oleh pemerintah kepada seluruh masyarakat. Pemanfaatan e-KTP diharapkan dapat berjalan lancar karena memiliki fungsi dan kegunaan yang sangat membantu pemerintah dan masyarakat yang bersangkutan dalam hal pemberian dan pemanfaatan pelayanan publik.

Pencapaian

Berikut ini adalah pencapaian pelaksanaan program e-KTP di beberapa propinsi di Indonesia.

Jawa Timur

Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Propinsi Jawa Timur, beberapa wilayah di Jawa Timur belum maksimal dalam pendataan untuk e-KTP karena banyak mesin foto untuk e-KTP bermasalah. Di Madiun misalnya, mesin fotonya rusak sehingga menghambat proses pembuatan e-KTP. Wilayah-wilayah yang belum maksimal dalam pendataan untuk e-KTP ini diantaranya Sidoarjo Ngawi, Sampang, Pamekasan, Kota Kediri, Kota Blitar, Kabupaten Malang, Kota Pasuruan, Kota Mojokerto, Madiun, dan Surabaya.[13]
Sedangkan di Surabaya, tercatat bahwa dari 1,8 juta penduduk Surabaya yang wajib KTP, baru 1,5 juta yang sudah e-KTP. Jumlah ini setara dengan 80% dari keseluruhan jumlah penduduk Surabaya. Hal ini menandai keinginan Dispendukcapil Kota Surabaya mengejar target 100% untuk pelaksanaan e-KTP tersendat. Meski pelayanannya juga dibuka di pusat-pusat perbelanjaan, misalnya di Royal Plaza dan ITC Mega Grosir, tapi capaiannya belum tuntas. Hal ini antara lain disebabkan karena adanya hari libur panjang dan adanya cuti bersama yang ditetapkan pemerintah. Selain itu, tidak selesainya program e-KTP hingga 100% karena sebagian warga Surabaya ada yang bekerja di luar kota atau luar negeri. Bahkan, ada anak-anak pejabat yang sekolah di Eropa, Australia, Amerika dan lainnya sehingga mereka tidak bisa mengurus e-KTP.[14]

DKI Jakarta

Saat program e-KTP berakhir pada bulan April 2012, DKI Jakarta mampu memperoleh pencapaian 100 persen perekaman KTP elektronik atau e-KTP secara massal di Jakarta.[15] Dalam waktu sekitar enam bulan DKI Jakarta mampu merekam data 5,6 juta warganya.[16] Angka ini setara dengan jumlah warga di lima provinsi di Indonesia. Karena ada provinsi yang penduduknya hanya 1 juta. Atas prestasinya ini, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mendapat penghargaan dari Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada tanggal 30 April 2012.

Sumatera Barat

Kementerian Dalam Negeri memberikan apresiasi kepada 7 daerah di Sumatera Barat yang telah selesai melaksanakan program perekaman Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) fase pertama. Hasil yang dicapai dengan upaya yang dilakukan pemerintah kabupaten dan kota merupakan suatu prestasi.[17] Bahkan ada 2 daerah dari 9 kabupaten /kota di Sumatera Barat yang pencapaian perekaman e-KTP-nya melebihi target 100 persen, yakni Kota Padang Panjang dan Kabupaten Pesisir Selatan. Tujuh daerah lainnya, Kota Solok, Padang, Bukittinggi, dan Kabupaten Solok, Agam, Tanah Datar, Pasaman.[18]

Referensi

Kepustakaan

  • Re Putra. Implementasi Program KTP Elektronik (e-KTP) di Daerah Percontohan. Universitas Islam Bandung. 2012
  • Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
  • Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2009 tentang Penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan
  •  http://id.wikipedia.org/wiki/Kartu_Tanda_Penduduk_elektronik