Masyarakat
Badui Dalam pun Tersentuh oleh Perubahan Sosial
Abstract
Kajian
tentang perubahan sosial pada masyarakat Baduy sebagai salah satu suku terasing
di Indonesia masih sangat jarang, Hal itu lebih disebabkan karena masyarakat
Baduy merupakan salah satu kelompok suku terasing di Indonesia yang mempunyai
kesan tersendiri, Pendiriannya yang keras tapi tidak pernah merepotkan orang
lain dalam keadaan bagaimanapun. Bagi masyarakat Baduy, larangan sudah menjadi
pagar tradisi yang kokoh untuk taat pada pikukuh aturan. Isi terpenting dari
'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa
pun", atau perubahan sesedikit mungkin “Lojor heunteu beunang dipotong,
pèndèk heunteu beunang disambung.” (Panjang tidak bisa/tidak boleh
dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung). Disini penulis berusaha
mengungkapkan, bahwa seperti suatu kelompok masyarakat pada umumnya, Masyarakat
Baduy yang sangat terisolir dan menolak terhadap adanya perubahan karena
pikukuh konsep tanpa perubahan apapun, mau tidak mau tetap saja tersentuh pula
oleh berbagai Perubahan.
A. Pendahuluan
Sejumlah tulisan tentang kehidupan
masyarakat Baduy telah banyak dilakukan, tetapi umumnya lebih berkaitan
dengan kekhasan masyarakat Baduy itu
sendiri, seperti sistem sosial, organisasi sosial, kepemimpinan, lembaga adat,
sistem pemerintahan adat, upacara, religi, dan sistem pengetahuan dan berbagai
karakteristik lain yang memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat di luar
Baduy.
Terdorong oleh hal itu, tulisan ini bertujuan
menggambarkan sisi lain masyarakat Baduy yaitu tentang perubahan sosial dan
kebudayaannya, sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam lingkungan
hidup mereka, baik lingkungan alam dan fisiknya maupun lingkungan sosialnya.
Penulis ingin membuktikan keuniversalan teori perubahan sosial bahwasanya
meskipun masyarakat desa memiliki karakteristik khas sulit menerima perubahan
atau mengadakan perubahan karena
hidupnya yang terisolir dan pandangannya yang sempit terhadap hidup dan masa
depan. Penulis mengambil objek tulisan Masyarakat Baduy dalam tema ini
dikarenakan konsep kepercayaan masyarakat baduy yang begitu kental menolak akan
adanya perubahan, bentuk konkritnya hingga saat ini mereka masih mematuhi hukum
adat dengan kukuh, larangan menggunakan teknologi, alas kaki, listrik, bahkan
penolakan mereka terhadap sarana-sarana pendidikan dan kesehatan yang
ditrawarkan oleh pemerintah, menjadi bukti konkrit keteguhan mereka memegang
kukuh nilai-nilai adatnya, dengan nilai lojor
henteu beunang dipotong, pendek henteu benang disambung ini apakah tetap
mampu membuat Masyarakat Baduy terlepas dari yang namanya perubahan.
Sekecil apapun perubahan yang terjadi,
baik perubahan lingkungan alam/fisik maupun perubahan sosial menuntut adanya
adaptasi dari masyarakat Baduy terhadap lingkungannya yang baru dan perubahan
tersebut langsung atau tidak langsung menuntut adanya perubahan kebudayaan
masyarakat baduy tersebut. Sementara perubahan itu sendiri bisa diakibatkan
oleh adanya turut campur pemerintah dalam mengatur tata kehidupan mereka, yaitu
dalam bentuk memukimkan kembali dalam tempat-tempat pemukiman khusus untuk
mereka. Perubahan juga bisa disebabkan oleh lebih seringnya kontak dengan
golongan-golongan sosial atau suku-suku bangsa lainnya, atau karena masuknya
teknologi modern, sekolah, agama serta media massa modern. hal inilah yang akan
menjadi pembahasan tulisan dari penulis.
B. Gambaran Masyarakat Kanekes (Baduy)
Etimologi
Sebutan
"Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada
kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka
dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang
berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain Nama Baduy ini diambil dari nama
sungai yang melewati wilayah ini, yaitu adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy
yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka
menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes"
sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama
kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Wilayah
Untuk
mencapai ke lokasi pemukiman, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki melalui
jalan setapak tanpa pengerasan. Masyarakat Baduy menempati wilayah seluas
5.101,8 hektar berupa hak ulayat yang diberikan oleh pemerintah.Wilayah Kanekes
secara geografis terletak pada koordinat 6°27’27” - 6°30’0” LS dan 108°3’9” -
106°4’55” BT (Permana, 2001). Mereka bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng
di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten,
berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Wilayah yang merupakan bagian
dari Pegunungan Kendeng dengan ketinggian 300 - 600 m di atas permukaan laut
(DPL) tersebut mempunyai topografi berbukit dan bergelombang dengan kemiringan
tanah rata-rata mencapai 45%, yang merupakan tanah vulkanik (di bagian utara),
tanah endapan (di bagian tengah), dan tanah campuran (di bagian selatan). suhu
rata-rata 20 °C. Tiga desa utama orang Kanekes Dalam adalah Cikeusik, CIkertawana, dan Cibeo.
Asal-usul
Delegasi Kanekes sekitar tahun 1920
Menurut
kepercayaan yang mereka anut, orang Kanekes mengaku keturunan dari Batara
Cikal, salah satu dari tujuh dewa atau batara yang diutus ke bumi. Asal usul
tersebut sering pula dihubungkan dengan Nabi Adam sebagai nenek moyang pertama.
Menurut kepercayaan mereka, Adam dan keturunannya, termasuk warga Kanekes
mempunyai tugas bertapa atau asketik (mandita) untuk menjaga harmoni dunia.
Pendapat
mengenai asal-usul orang Kanekes berbeda dengan pendapat para ahli sejarah,
yang mendasarkan pendapatnya dengan cara sintesis dari beberapa bukti sejarah
berupa prasasti, catatan perjalanan pelaut Portugis dan Tiongkok, serta cerita
rakyat mengenai 'Tatar Sunda' yang cukup minim keberadaannya. Masyarakat
Kanekes dikaitkan dengan Kerajaan Sunda yang sebelum keruntuhannya pada abad ke-16 berpusat di Pakuan Pajajaran (sekitar Bogor sekarang). Sebelum berdirinya
Kesultanan Banten, wilayah ujung barat pulau Jawa ini merupakan bagian penting dari
Kerajaan Sunda. Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai
Ciujung dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk
pengangkutan hasil bumi dari wilayah pedalaman. Dengan demikian penguasa
wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk Umum menganggap bahwa
kelestarian sungai perlu dipertahankan. Untuk itu diperintahkanlah sepasukan
tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan mengelola kawasan
berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan
pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal
Masyarakat Kanekes yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai
Ciujung di Gunung Kendeng tersebut (Adimihardja, 2000). Perbedaan pendapat
tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu, identitas dan
kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi
komunitas Kanekes sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran.
Van
Tricht, seorang dokter yang pernah melakukan riset kesehatan pada tahun 1928,
menyangkal teori tersebut. Menurut dia, orang Kanekes adalah penduduk asli
daerah tersebut yang mempunyai daya tolak kuat terhadap pengaruh luar (Garna,
1993b: 146). Orang Kanekes sendiri pun menolak jika dikatakan bahwa mereka
berasal dari orang-orang pelarian dari Pajajaran, ibu kota Kerajaan Sunda.
Menurut Danasasmita dan Djatisunda (1986: 4-5) orang Baduy merupakan penduduk
setempat yang dijadikan mandala' (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena
penduduknya berkewajiban memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau
nenek moyang), bukan agama Hindu atau Budha. Kebuyutan di daerah ini dikenal
dengan kabuyutan Jati Sunda atau 'Sunda Asli' atau Sunda Wiwitan (wiwitan=asli,
asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun diberi nama Sunda
Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiksa.
Mata pencaharian
Orang
Baduy tidak terpisahkan dari padi yang dilambangkan sebagai Nyi Pohaci
Sanghyang Asri yang harus ditanam
menurut ketentuan-ketentuan karuhun, yaitu seperti bagaimana nenek
motyang mereka menanam padi. Padi ditanam di lahan kering, huma yang berada di
luar dan di dalam desa, kecuali tidak boleh ditanam di hutan larangan yang
berupa hutan tua di wilayah baduy dalam. Dengan fokus penanaman padi di ladang
sekali musim tiap tahun, mata pencarian Baduy merupakan salah satu bentuk
subsisten yang tua usianya, mungkin sejak padi dikenal di Jawa Barat. Padi
tidak boleh dijual, ketentuan ini berlaku bagi seluruh orang Baduy. Tetapi
hasil hutan seperti buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan. Dan jenis tanaman ladang
lainnya boleh dijual untuk mendapatkan uang pembeli benang katun, ikan asin,
garam, rokok, dan tembakau.
Jenis
mata pencaharian yang relatif baru kira-kira baru berkembang 10 tahun terakhir
adalah berdagang pakaian, rokok, dan hasil hutan serta huma yang dilakukan
terutama oleh orang baduy luar, selain berdagang orang-orang baduy luar pun
juga mengolah air nira menjadi gula kawung, menjadi buruh tani dan berhuma
diluar kanekes, serta menangkap ikan.
C. Tatanan Masyarakat dan Kebudayaannya
Masyarakat
Baduy dalam hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh
oleh kegiatan pembangunan.Wilayah Baduy Dalam, di mana mereka tinggal ada di
pedalaman hutan, masih terisolir, dan belum terusik dengan kebudayaan luar.
Kebudayaan mereka masih asli, sehingga sulit bagi masyarakat lainnya untuk bisa
masuk apalagi tinggal bersama suku Baduy Dalam. Peraturan yang tetap dipegang
teguh hingga kini diantaranya bagi warganya adalah tidak menggunakan kendaraan
jenis apapun untuk sarana transportasi, tidak memakai alas kaki, tidak
menggunakan alat elektronik (teknologi), hanya mengenakan pakaian berwarna
hitam/ putih yang ditenun dan dijahit sendiri, dan semua hal yang berkaitan
dengan "kembali ke alam". Di perkampungan
Baduy tidak ada listrik, tidak ada pengerasan jalan, tidak ada fasilitas
pendidikan formal, tidak ada fasilitas kesehatan, tidak ada sarana
transportasi, dan kondisi pemukiman penduduknya sangat sederhana. Aturan
adat melarang warganya untuk menerima modernisasi pembangunan.
Pola
kehidupan masyarakat Baduy sangat ditentukan oleh aturan-aturan dan
norma-norma yang berperanan penting dalam proses kehidupan sosial mereka,
yang membentuk homogenitas prilaku dan sosial ekonomi masyarakatnya. Hikmahnya
agar mereka mampu memperkokoh benteng kehidupan anak turunan, menjalin tatanan
hidup yang terus berkesinambungan dan dominan. Aturan dan norma itu
dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi
seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum,
untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya.
Kepercayaan
Kepercayaan
masyarakat Kanekes yang disebut sebagai Sunda Wiwitan berakar pada pemujaan kepada arwah
nenek moyang (animisme) yang pada perkembangan selanjutnya
juga dipengaruhi oleh agama Buddha, Hindu, dan Islam. Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan
dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan
sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh'
(kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apa pun",
atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor
heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak
bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung)
Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari
diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan
tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat
sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan. Pada pembangunan
rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga
rumah Kanekes seringkali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun
jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan
tawar-menawar.
Objek
kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan
dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk
melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada tahun 2003
bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu'un atau ketua adat tertinggi
dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan
tersebut. Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan
air hujan. Apabila pada saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut ada dalam
keadaan penuh air yang jernih, maka bagi masyarakat Kanekes itu merupakan
pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun, dan panen akan
berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka
merupakan pertanda kegagalan panen.
Bagi
sebagian kalangan, berkaitan dengan keteguhan masyarakatnya, kepercayaan yang
dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan
masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam.
Bahasa
Bahasa
yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda-Banten. Untuk
berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia,
walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang
Kanekes Dalam tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat-istiadat,
kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan
lisan saja.
Orang
Kanekes tidak mengenal sekolah, karena pendidikan formal berlawanan dengan
adat-istiadat mereka. Mereka menolak usulan pemerintah untuk membangun
fasilitas sekolah di desa-desa mereka. Bahkan hingga hari ini, walaupun sejak
era Suharto pemerintah telah berusaha memaksa
mereka untuk mengubah cara hidupmereka dan membangun fasilitas sekolah modern
di wilayah mereka, orang Kanekes masih menolak usaha pemerintah tersebut.
Akibatnya, mayoritas orang Kanekes tidak dapat membaca atau menulis.
Kelompok masyarakat
Orang Kanekes masih memiliki hubungan
sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka
mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah
kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh
dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional,
sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk
Islam.
Masyarakat Kanekes
secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping,
dan dangka
Kelompok
tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat
mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana,
dan Cikeusik. Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih
alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat
untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)
Kanekes
Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar,
warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan
yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
- Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
- Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
- Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu'un atau ketua adat)
- Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
- Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok
masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal
sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai
kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu,
Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes
Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes
Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada
beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes
Luar:
- Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
- Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
- Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Ciri-ciri masyarakat
orang Kanekes Luar
- Mereka telah mengenal teknologi, seperti peralatan elektronik, meskipun penggunaannya tetap merupakan larangan untuk setiap warga Kanekes, termasuk warga Kanekes Luar. Mereka menggunakan peralatan tersebut dengan cara sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan pengawas dari Kanekes Dalam.
- Proses pembangunan rumah penduduk Kanekes Luar telah menggunakan alat-alat bantu, seperti gergaji, palu, paku, dll, yang sebelumnya dilarang oleh adat Kanekes Dalam.
- Menggunakan pakaian adat dengan warna hitam atau biru tua (untuk laki-laki), yang menandakan bahwa mereka tidak suci. Kadang menggunakan pakaian modern seperti kaos oblong dan celana jeans.
- Menggunakan peralatan rumah tangga modern, seperti kasur, bantal, piring & gelas kaca & plastik.
- Mereka tinggal di luar wilayah Kanekes Dalam.
Apabila
Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka "Kanekes
Dangka" tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2
kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kampung Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas
pengaruh dari luar.
Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem
pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan negara Indonesia,
dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua
sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak
terjadi benturan. Secara nasional, penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa
yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada
pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "Pu'un".
Struktur pemerintahan
Kanekes
Pemimpin
adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "Pu'un" yang ada di
tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun
tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka
waktu jabatan Pu'un tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan
seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana
sehari-hari pemerintahan adat kapu'unan (kepu'unan) dilaksanakan oleh jaro,
yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka,
jaro tanggungan, dan jaro pamarentah. Jaro tangtu
bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan
berbagai macam urusan lainnya. Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus,
dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes. Jaro
dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu
disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut
sebagai jaro tanggungan. Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas
sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional,
yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot
lembur atau tetua kampung.
Hukum di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori
pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan.
Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan
oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran
ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran
berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro
setempat dan diberi peringatan. Selain mendapat peringatan berat, siterhukum
juga akan dimasukan ke dalam lembaga pemasyarakatan (LP) atau rumah tahanan adat
selama 40 hari. Selain itu, jika hampir bebas akan ditanya kembali apakah
dirinya masih mau berada di Baduy Dalam atau akan keluar dan menjadi warga
Baduy Luar di hadapan para Pu’un dan Jaro. Masyarakat Baduy Luar lebih longgar
dalam menerapkan aturan adat dan ketentuan Baduy.
menariknya, yang namanya hukuman berat
disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes
pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.
Banyak larangan yang diatur dalam hukum
adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak
berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang
memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari
satu.
Dari segi berpakain, didalam suku baduy
terdapat berbedaan dalam berbusana yang didasarkan pada jenis kelamin dan
tingkat kepatuhan pada adat saja, yaitu Baduy Dalam dan Baduy Luar.Untuk Baduy
Dalam, para pria memakai baju lengan panjang yang disebut jamang
sangsang, Potongannya tidak memakai kerah, tidak pakai kancing dan
tidak memakai kantong baju. Warna busana mereka umunnya adalah serba putih.
Untuk bagian bawahnya menggunakan kain serupa sarung warna biru kehitaman, yang
hanya dililitkan pada bagian pinggang. Serta pada bagian kepala suku baduy
menggunakan ikat kepala berwarna putih. bagi suku Baduy Luar, busana yang
mereka pakai adalah baju kampret berwarna hitam. Ikat kepalanya juga berwarna
biru tua dengan corak batik. Terlihat dari warna, model ataupun corak busana
Baduy Luar, menunjukan bahwa kehidupan mereka sudah terpengaruh oleh budaya
luar. Sedangkan, untuk busana yang dipakai di kalangan wanita Baduy dalam
maupun Baduy Luar tidak terlalu menampakkan perbedaan yang mencolok. Mereka
mengenakan busana semacam sarung warna biru kehitam-hitaman dari tumit sampai
dada. Bagi wanita yang sudah menikah, biasanya membiarkan dadanya terbuka
secara bebas, sedangkan bagi para gadis buah dadanya harus tertutup.
Di dalam proses pernikahan pasangan yang
akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua
laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan
kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian
dilanjutkan dengan proses 3 kali pelamaran. Tahap Pertama, orang tua laki-laki
harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang
dan gambir secukupnya. Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan
gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja
putih sebagai mas kawinnya. Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat
kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan.
Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan
perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu
dari mereka telah meninggal
D. Perubahan danKelestarian Nilai-Nilai
Tradisional Masyarakat Baduy
Setiap
masyarakat manusia selama hisup pasti mengalami perubahan. Karena tidak ada
suatu masyarakat pun yang berhenti pada suatu titik tertentu sepanjang masa.
Arus perubahan ini setiap saat melandasi masyarakat yang seringkali menimbulkan
proses perubahan yang berlangsung secara drastis dan menyeluruh. Hal ini akan
nampak dari akibat suatu peristiwa revolusi.
Namun proses perubahan juga dapat berjalan sangat lambat dan memakan waktu yang
relatif lama (evolusi).
Selanjutnya
perubahan dapat menyangkut tentang berbagai hal, perubahan fisikal oleh proses
alami dan prubahan kehidupan manusia oelh dinamika kehidupan itu sendiri.
Perubahan yang menyangkut kehidupan manusia, atau terkait dengan lingkungan
kehidupannya yang berupa fisik, alam, dan sosial disebut perubahan sosial.
Teori-teori
perubahan sosial mulai berkembang sejak awal abad ke 19. Pada kurun waktu
tersebut banyak ahli yang mengemukakan pemikirannnya. Sesuai dengan latar
belakang mereka, maka makna perubahan sosial pun sangat bervariasi. Menurut Moore dalam Garna perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai
nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola perilaku sosial, susunan
lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan kewenangan,
interaksi sosial dan sebagainya. Perubahan sebagai proses dapat menunjukkan
perubahan sosial dan perubahan kebudayaan atau berlaku kedua-duanya pada suatu
runtutan proses itu. Merujuk pendapat Lauer
dalam Garna, perubahan sosial
adalah suatu konsep inklusif yang menunjuk kepada perubahan sosial berbagai
tingkat kehidupan manusia. Dari mulai individual sampai global. Perubahan pada
setiap tingkat kehidupan itu lebih tepat dianggap sebagai perubahan sosial. Hal
ini perubahan yang kecil pun atau perubahan unsur sosial tertentu dapat
dikatakan perubahan sosial.
1. Faktor-faktor
penyebab perubahan sosial
Menurut Riyanto (1990;97-98), secara garis
besar ada dua faktor penyebab perubahan sosial, yaitu sebab-sebab yang
bersumber dalam masyarakat sendiri dan dari luar masyarakat bersangkutan.
Sebab-sebab yang
bersumber dari masyarakat sendiri ialah:
a. Bertambah atau berkurangnya penduduk
b. Rekaan atau penemuan baru
c. Pertentangan dalam masyarakat
d. Terjadi pemberontakan atau revolusi di
dalam masyarakat tersebut
Sebab-sebab yang
bersumber dari luar masyarakat ialah:
a. Lingkungan alam fisik di sekitar
manusia
b. Peperangan dengan negara lain’
c. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain
bisa berupa asimilasi atau akulturasi, difusi dan paksaan
2. Teori
Struktural Fungsional Talcott parson
Karya
awal dari Parsons sebenarnya dimulai dnegan analisis tindakan individu baru
kemudian bergeser pada analisis sistem sosial yang bersifat struktural
fungsional.
Ruth mengemukakan bahwa dalam menjelaskan teorinya, Parsons membagi 4 sistem yaitu sistem
budaya, sistem sosial, sistem keperibadian, sistem organisme tingkah laku.
Agar
suatu sistem sosial dapat dipertahankan fungsinya dan mampu memenuhi kebutuhan
Individu, Parsons mengemukakan empat
syarat fungsional yang disebut dengan model AGIL, yaitu:
a. Adaptation, menunjukkan pada keharusan
bagi sistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Disini ada dua dimensi
permasalahan , pertama harus ada penyesuaian dari sistem terhadap tuntutan
kenyetaan yang keras yang tidak dapat diubah yang datang dari lingkungan, kedua
ada proses transformasi aktif dari situasi itu.
b. Goal Attainment, merupakan persyaratan
fungsional yang berupa tindakan-tindakan yang diarahkan pada tujuan-tujuan
yakni tujuan bersama para anggotanya dalam suatu sistem sosial
c. Integration, merupakan persyaratan yang
berhubungan dengan interrelasi antar anggota dalam sistem sosial itu
d. Latent Pattern Maintannace, konsep
latensi menunjukkan pada berhentinya interaksi
Model
sibernika Parsons mengajukan teori
evolusioner yang menjelaskan gerakan masyarakat primitif ke modern melalui
empat prose perubahan struktural utama, yaitu diferensiasi, pembaharuan itu
bersifat penyesuaian (adaptif upgrading), pemasukan (inklusi), dan generalisasi
nilai-nilai. Adapun proses differensiasi struktural dan
perkembangan-perkembangan yang berkaitan dengan mempengaruhinya proses evolusi
seperti munculnya sistem stratifikasi sosial, organisasi birokratis, sistem
uang, jaringan pasar impersonal, dan pola-pola asosiasi demokratis disebut
universal evolusioner, yang berperan meningkatakan kemmapuan masyarakat dlam
adaptasi mereka.
Pola
evolusi masyarakat menurut Parsons secara historis melalui tahap-tahap
“primitif”, intermediate, dan modern”
Parsons
menolak anggapan lama yang menyatakan bahwa masyarakat akan mengalami perubahan
dan pengmbangan dalam bentuk yang seragam. Tapi cenderung mengatakan bahwa
sejarah perkembangan masnusia emmperlihatkan suatu perubahan evolusioner yang
menuju kepada peningkatan adaptive capacity.
3. Perubahan
Sosial dan Kebudayaan Masyarakat Baduy
Masyarakat
Baduy adalah masyarakat yang kuat memegang tradisi nenek moyang dimana seluruh
sistem sosialnya bersumber pada sistem kepercayaan atau religinya, yang
menyebabkan masyarakat tersebut mengalami perubahan yang sangat lambat bahkan
dikatagorikan ke dalam perubahan statis, Sampai sekarang terlihat pola
kehidupan yang sangat berbeda dengan masyarakat luar pada umumnya.
Masyarakat
baduy sebgai masyarakat tradisional dapat dikatakan sebagai masyarakat yang
sedang berkembang. Karena tidak saja perubahan yang berlangsung di dalamnya,
juga ketaatan terhadap pikukuhnya mengalamai proses pergeseran. Perubahan itu
akan tampak dari pola pikir, cara bertindak, pemilikan barang organisasi sosial
yang sebelumnya tidak dikenal dalam kehidupan mereka. Sejumlah warga masyarakat
Baduy sengaja keluar dari desa kanekes untuk melonggarkan ikatan pikukuhnya,
mereka lalu bermukim di desa-desa sekitarnya.
Pemindahan
tempat bermukim itu mendapat dukungan pemerintah dalam satu program Pembinaan
Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing. Proyek pemukiman masyarakat Baduy ini
terus berlanjut sebagai program departemen sosial di dukung oleh PEMDA dan
sejumlah warga masyarakat biasa yang bermukim di desa sekitar Kanekes.
Perubahan
sosial sekelompok masyarakt Baduy pada hakekatnya merupakan keinginan paling
mendasar setiap manusia untuk berkembang sesuai dnegan kebutuhan hidup mereka.
Karena itu perubahan suatu masyrakat sebenarnya tergantung kepada masyarakat
itu sendiri, apalagi menyangkut kebutuhan hidup yang lebih baik dari sebelumnya.
Tapi segala perubahan yang telah dilakukan harus diimbangi pula oleh pola
pikir, sikap dan tindakan terhadap kondisi yang berubah agar dapat menyesuaikan
diri dengan kondisi baru. Hal ini sesuai dnegan bagian pertama dari konsep AGIL
(adaptation) menurut pendapat Parsons di atas.
Peningkatan
jumlah penduduk yang mengakibatkan berkurangnya luas kepemilikan lahan
pertanian setiap keluarga, selalu menjadi perhatian ketua adat. Masyarakat
Baduy-Luar yang sudah tidak memiliki lahan pertanian di dalam wilayah Baduy
diharuskan mengolah lahan di luar wilayah, sedangkan masyarakat Baduy-Dalam
mulai memperpendek masa bera lahannya. Perubahan penentuan masa bera lahan
pertanian yang semula 7 tahun ke atas, sekarang hanya 5 tahun bahkan 3 tahun
merupakan salah satu indikator terjadinya perubahan itu. Ketua adat Baduy
selalu mengingatkan kepada seluruh warganya untuk tidak membuka lahan hutan
menjadi lahan pertanian. Musyawarah tentang larangan membuka hutan selalu
disampaikan setiap tiga bulan sekali yang dihadiri oleh seluruh kepala kampung
Baduy. Pertemuan rutinan itu dilanjutkan dengan pemeriksaan seluruh batas
kawasan hutan Baduy untuk melihat kondisi hutannya dan mengingatkan tentang
batas-batas kawasan hutan kepada seluruh warga Baduy.
Bertambahnya
jumlah penduduk juga meningkatkan kebutuhan kayu pertukangan untuk membuat
rumah. Satu rumah untuk keluarga Baduy rata-rata membutuhkan 300 batang
kayu tiang (10 cm x 10 cm x 3 m), 150 batang kayu papan (10 cm x 2,5 cm x 3 m),
30 lembar bilik bambu (2,7 m x 3 m), 600 lembar atap daun kirai, dan 30 batang
bambu untuk lantainya (palupuh). Bahan untuk membuat atap rumah,
bilik, dan lantai tidak menjadi permasalahan karena jumlahnya melimpah dan
mudah untuk dibudidayakan. Kebutuhan akan kayu pertukangan yang menjadi
masalah dalam membuat rumah. Awalnya kebutuhan kayu pertukangan dapat
diperoleh dari ladangnya yang sudah di-bera-kan lebih dari 10
tahun. Ladang yang di-bera-kan lebih dari 10 tahun akan
menghasilkan jenis-jenis kayu yang dapat digunakan untuk tiang seperti kayu
kecapi, kihiang, dan sebagainya. Namun, dengan perubahan masa bera
menjadi 5 tahun, jenis-jenis kayu tersebut belum layak untuk dijadikan
tiang. Untuk mengatasi hal tersebut, aturan adat yang semula melarang
menanam tanaman kayu di ladang berangsur-angsur mulai mengendur. Dalam
lima belas tahun terakhir ini, masyarakat Baduy-Luar diperbolehkan menanam
tanaman kayu di ladangnya. Jenis tanaman kayu yang ditanam masyarakat
Baduy-Luar di ladangnya diantaranya adalah sengon, mahoni, kayu afrika,
sungkai, aren, dan mindi. Tanaman kayu tersebut akan ditebang pada saat
akhir masa bera. Kayu hasil penebangannya ada yang dipakai sendiri dan
ada pula yang sebagian dijual ke masyarakat luar. Dari sisi konservasi,
penanaman jenis-jenis tanaman kayu selama menunggu masa bera dapat
meningkatkan kesuburan tanah dan sekaligus melindungi tanah dan lahannya dari
erosi; sedangkan dari segi ekonomi akan meningkatkan pendapatan petani dan
sekaligus mengatasi masalah kekurangan kayu. Saat ini, seluruh lahan yang
dikelola oleh masyarakat Baduy-Luar ditanami tanaman kayu yang penanamannya
dilakukan bersamaan pada saat menanam padi. Untuk di Baduy-Dalam,
penanaman jenis tanaman kayu di ladang tetap dilarang; hanya saja masyarakat
diperbolehkan mengambil kayu di hutan dengan batasan diameter yang boleh
ditebang tidak lebih dari 20 cm.
Interaksi
dengan masyarakat luar baduy, Saat ini terlihat perbedaan yang jelas pada
kehidupan masyarakat Baduy-Luar dan Baduy-Dalam. Perubahan status
masyarakat telah terjadi pada kehidupan masyarakat Baduy. Awalnya semua
masyarakat Baduy harus ikut bertapa menjaga alam lingkungannya; sekarang
ini hanya Baduy-Dalam yang tugasnya bertapa, Masyarakat Baduy-Luar
tugasnya hanya ikut menjaga dan membantu tapanya orang Baduy-Dalam.
Masyarakat Baduy-Luar mulai diperbolehkan mencari lahan garapan ladang di luar
wilayah Baduy dengan cara menyewa tanah, bagi hasil, atau membeli tanah
masyarakat luar. Untuk menambah pendapatannya pada lahan mereka di luar
Baduy, diperbolehkan ditanami beberapa jenis tanaman perkebunan seperti
cengkeh, kopi, kakao, dan karet yang di wilayah Baduy dilarang. Hubungan
yang terbina karena “bisnis” sewa menyewa dan jual beli ladang, membentuk suatu
interaksi yang cukup antara masyarakat Baduy dengan masyarakat luar.
Interaksi ini berdampak pada perubahan tingkah laku dan pola hidup masyarakat
Baduy. Masyarakat Baduy-Luar sudah mulai memakai baju buatan pabrik,
kasur, gelas, piring, sendok, sendal jepit, blue jeans, sabun, sikat
gigi, senter, dan patromaks; bahkan sudah cukup banyak masyarakat Baduy yang
telah menggunakan telepon seluler. Larangan penggunaan kamera dan video
camera hanya berlaku pada masyarakat Baduy-Dalam; sedangkan pada Baduy-Luar
sudah sering stasiun TV mengekspose kehidupan mereka. Beberapa masyarakat di
Baduy-Luar sudah ada yang berdagang di kampungnya masing-masing. Dalam
hal kepemilikan lahan, yang semula semua lahannya milik adat, khusus di
Baduy-Luar telah menjadi milik perorangan dan bisa diperjualkan sesama orang
Baduy.
Masyarakat
Kanekes yang sampai sekarang ini ketat mengikuti adat-istiadat bukan merupakan
masyarakat terasing, terpencil, ataupun masyarakat yang terisolasi dari
perkembangan dunia luar. Berdirinya Kesultanan Banten yang secara otomatis memasukkan
Kanekes ke dalam wilayah kekuasaannya pun tidak lepas dari kesadaran mereka.
Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara
rutin melaksanakan seba ke Kesultanan Banten (Garna, 1993). Sampai sekarang,
upacara seba tersebut terus dilangsungkan setahun sekali, berupa menghantar
hasil bumi (padi, palawija, buah-buahan) kepada Gubernur Banten (sebelumnya ke
Gubernur Jawa Barat), melalui bupati Kabupaten Lebak. Di bidang pertanian, penduduk Kanekes
Luar berinteraksi erat dengan masyarakat luar, misalnya dalam sewa-menyewa
tanah, dan tenaga buruh.
Perdagangan
yang pada waktu yang lampau dilakukan secara barter, sekarang ini telah mempergunakan mata
uang rupiah biasa. Orang Kanekes menjual hasil
buah-buahan, madu, dan gula kawung/aren melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup
yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di
luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.
Pada
saat ini orang luar yang mengunjungi wilayah Kanekes semakin meningkat sampai
dengan ratusan orang per kali kunjungan, biasanya merupakan remaja dari
sekolah, mahasiswa, dan juga para pengunjung dewasa lainnya. Mereka menerima
para pengunjung tersebut, bahkan untuk menginap satu malam, dengan ketentuan
bahwa pengunjung menuruti adat-istiadat yang berlaku di sana. Aturan adat
tersebut antara lain tidak boleh berfoto di wilayah Kanekes Dalam, tidak
menggunakan sabun atau odol di sungai. Namun demikian, wilayah Kanekes tetap
terlarang bagi orang asing (non-WNI). Beberapa wartawan asing yang mencoba
masuk sampai sekarang selalu ditolak masuk.
Pada
saat pekerjaan di ladang tidak terlalu banyak, orang Kanekes juga senang
berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan syarat harus berjalan
kaki. Pada umumnya mereka pergi dalam rombongan kecil yang terdiri dari 3 sampai
5 orang, berkunjung ke rumah kenalan yang pernah datang ke Kanekes sambil
menjual madu dan hasil kerajinan tangan. Dalam kunjungan tersebut biasanya
mereka mendapatkan tambahan uang untuk mencukupi kebutuhan hidup.
Dari
kesemua faktor-faktor di atas tersebut
bisa memicu perubahan sosial pada masyarakat Baduy tersebut baik itu
faktor secara fisik maupun kebudayaan. Kesadaran akan nilai dan norma sosial
Baduy setiap keluarga pun lambat laun bisa memudar dengan munculnya keinginan
untuk mengalami kehidupan lain, begitu pula halnya dengan institusi sosial
seperti gotong royong akan turut bergeser walaupun menyangkut kebutuhan
masyarakat tetapi akibat perputaran imbalan jasa ke arah penggunaan materi yang
sekaligus sebagai pembayaran. Hubugan yang erat antara migran baduy dengan
orang baduy kanekes juga akan memberikan ide perubahan, karena mereka selalu
berkomunikasi melalui saling mengunjungi dan membantu dalam tiap pekerjaan.
Perubahan
sosial yang dialami “Migran Baduy” menimbulkan pertanyaan, apakah mereka telah
siap untuk menghadapi kemungkinan dampak yang terjadi, termasuk kehilangan
budayanya. Haruskah kebiasaan itu dibiarkan atau ditinggalkan? Karena itu yang
diperlukan bagi kehidupan orang baduy ialah perubahan yang dapat meningkatkan
taraf hidup mereka tanpa mengubah pikukuh Baduy sebagai tradisi dalam kehidupan
mereka.
Perubahan
yang dialami masyarakat baduy tidak lepas dari pengawasan pemuka adat yang
selalu berusaha menentang segala bentuk perubahan yang terjadi dan berusaha
mengembalikan kehidupan masyarakat yang sesuai dengan pikukuh. Dengan demikian
pikukuh merupakan norma budaya yang berfungsi sebagai standar perilaku yang
diharapkan dan sekaligus merupakan aturan yang harus dilakukan warga masyarakat
baduy sebagai pemilik kebudayaan tersebut. Pada kenyataannya larangan tidak
seutuhnya dilaksanakan, karena buyut (larangan) bagi masyrakat tangtu (baduy
dalam) lebih ketat dibandingkan dengan buyut bagi masyarakat Panamping (baduy
luar). Penyimpangan-penyimpangan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan
oleh beberapa anggota keluarga pada masyarakat panamping seperti penggunaan
obat-obat dari luar misalnya, menunjukkan adanya keraguan dalam memilih cara
hidup yang sudah berlaku (berdasarkan adat) atau melepaskannnya. Banyak mereka
yang melanggar adat dengan alasan tidak diketahui Pu’un. Satu hal yang patut
dicatat perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat baduy berlangsung
menurut proses adaptasi dalam jangka waktu yang sangat panjang (relatif lama).
Hal ini sesuai dengan pendapat Parsons yang
telah dikemukakan di atas bahwa, “sejarah perkembangan umat manusia
memperhatikan suatu perubahan yang evolusioner yang menuju pada peningkatan
adaptive capacity.
E. Penutup
Mayarakt Baduy adalah masyarakat yang
memegang teguh tradisi dan nilai-nilai kepercayaan yang berasal dari nenek
moyang mereka, di satu sisi mereka berusaha sebagaimana mungkin mengisolasi
diri mereka dari perubahan dan menjauhkan diri dengan menolak perubahan yang
ingin masuk ke dalam masyarakt tersebut. Namun nyatanya mereka tidak dapat
menghindar dari perubahan itu sendiri, baik itu yang berasal dari dalam
masyarakatnya sendiri yang mulai ingin melepaskan diri dari aturan adat mereka,
pertambahan penduduk, perubahan fisik alam mereka dan semakin terbatasnya alam
untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, maupun banyaknya pengaruh dari luar
seperti peran serta pemerintah dan juga interaksi dengan masyarakat luar
menyebabkan perubahan dalam masyarakat baduy tidak terelakkan lagi. Seperti
suatu kelompok sosial pada umumnya Baduy pun tersentuh berbagai perubahan.
DAFTAR PUSTAKA
Gana,
Judistira K. 1985. Masyarakat Baduy dan
Kebudayaannya. Bandung. Pusat Kajian Pengembangan Sosial Budaya
Soekanto,
Soerjono, 1983. Teori Sosiologi tentang
Perubahan Sosial, Jakarta. Ghalia Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar