BAB I
PENDAHULUAN
A.Landasan Teoritis
Menurut Aristoteles
(384-322) masyarakat madani di pahami sebagai sistem kenegaraan dengan
menggunakan istilah kolonia politik ( sebuah komunitas politik tempat warga
dapat terlibat dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan
keputusan).Konsepsi Aristoteles ini di ikuti oleh Marcos Tullios Cicero
(106-43) dengan istilah Societis Civilies yaitu sebuah komonitas yang lain,
tema yang dikedepan kan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara
kota (city state), yakni untuk menggambarkan kerajaan, kota dan bentuk lainya
sebagai kesatuan yang terorgenisasi.
Pada tahun 1767, wacana masayarakat madani ini dikembangkan oleh Adam Fergoson
dengan mengambil konteks sosio-kultural, Fergoson menekankan mayasrakat madani
pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pahamnya ini digunakan
untuk mengatisipasi perubahan sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri
dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan
individu.
Kemudian pada tahun 1792, muncul wacana masyarakat madani yang memiliki
aksetuansi yang dengan sebelumnya. Konsep ini memunculkan Thomas Paine
(1737-1803) yang menggunakan istilah masyrakat madani sebagai kelompok
masyarakat yang memiliki posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggap
sebagai antithesis dari Negara, dengan demikian, maka masyrakat madani menurut
Thomas Paine adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan
memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan
B.Landasan
Empiris
Masyarakat
madani merupakan bentuk Indonesia dari istilah bahasa Inggris civil society
yang memiliki kandungan makna bagaimana sebuah negara itu harus berlaku kepada
masyarakat yang dinaunginya. Secara umum cita-cita ideal dari masyarakat madani
adalah memberikan sesuatu yang terbaik kepada warga masyarakat yang berada di
dalamnya.Sebenarnya merupakan masalah yang sulit untuk mencari padanan kata civil society dalam bahasa Indonesia. Sebab istilah ini memiliki kandungan makna yang begitu luas. Peng-Indonesia-an kata per kata dirasa tidak memenuhi untuk menggambarkan makna yang terkandung dalam bahasa aslinya. Namun demikian bebapa cendekiawan kita telah berusaha memberikan padanannya. Salah satu yang paling terkenal adalah dari apa yang digagaskan oleh Nurcholis Madjid berupa masyarakat madani. Padanan ini beliau lontarkan dalam pembahasan tentang bagaimana masyarakat yang ideal dalam pandangan Islam, mengingat latar belakang beliau sendiri adalah cendekiawan muslim Indonesia.
C.Permasalahan
1.
Apakah di Indonesia bisa membangun masyarakat madani
dalam perspektip islam ?
2.
Bagaimana kaitanya dekmokrasi dan islam dalam
membangun masyarakat madani ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.Masyarakat Madani Dalam Perspektif Islam
Melacak Istilah Masyarakat Madani
Kata Madani berasal dari bahasa Arab
مدن yang artinya menempati suatu tempat. Dari kata inilah kemudian dibentuk
kata مدينة yang berarti kota atau tempat tinggal sekelompok orang, sehingga
lawan kata المدن adalah البادية yang berarti kehidupan yang masih
nomaden. Bentuk jamaknya adalah مدائن atau مدن. Kata مدني merupakan
bentuk dari mashdar shina’iy, yang menunjukkan arti yang memiliki orang kota
(من أهل المدينة.).
Hanya saja dalam perkembangan berikutnya, kata
madani –juga kata hadlarah–, ini digunakan oleh orang Arab untuk menerjemahkan
istilah bahasa Inggris civilization. Justru pada akhirnya kata madani yang
berarti civilization yang sering dipakai dalam perbincangan kehidupan
masyarakat dan negara. Dalam konteks perangkat negara, madani juga memiliki
arti sipil (bukan militer), sedangkan dalam konteks hukum, madani berarti bukan
pidana. Sehingga, hukum perdata sering disebut قانون مدني, seperti
undang-undang sipil perkawinan disebut dengan قان الزواج المدني. Ketika ada
istilah civil society yang digunakan para pemikir barat untuk merujuk ciri khas
masyarakat tertentu, maka diterjemahkan dengan المجتمع المدني, atau kemudian
diindonesiakan menjadi masyarakat madani atau masyarakat sipil. Jika yang
dimaksud masyarakat madani adalah civil society, maka untuk menilainya apakah
sesuai dengan Islam atau bukan, kita harus melacak konsep civil society
tersebut.
Gambaran Civil Society
Konsep pemerintahan yang sekarang banyak
diterapkan oleh banyak negara sangat banyak dipengaruhi oleh para pemikir
barat. Semisal penyebutan berbagai jenis pemerintahan. Dalam istilah pemikir
barat, jika pemerintahan diserahkan kepada seseorang disebut dengan
pemerintahan monarki. Bila diserahkan kepada sekelompok orang disebut
aristokrasi. Sedangkan bila diserahkan kepada banyak orang atau rakyat disebut
dengan demokrasi.
Kecenderungan umum yang sekarang terjadi, bentuk
pemerintahan demokrasi ini paling diminati dibandingkan dengan dua bentuk
lainnya. Demokrasi dianggap paling adil dan rasional, karena dalam mengelola
negara melibatkan seluruh rakyat. Berbeda dengan bentuk monarki dan aristokrasi
yang sangat mungkin melakukan kedzaliman kepada rakyatnya, maka persoalan
seperti itu bisa dicegah dalam kehidupan demokrasi. Karena dalam demokrasi
kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat, bagaimana mungkin rakyat akan
mendzalimi dirinya sendiri. Namun demikian, fakta menunjukkan lain. Dalam
demokrasi ternyata belum bisa menghindarkan diri dari bentuk-bentuk penindasan
pada rakyat. Ini terjadi karena beberapa hal. Pertama, sebenarnya pelibatan
rakyat dalam pemerintahan hanya terjadi pada saat pemilu. Semua partai politik
bertarung untuk memperebutkan suara rakyat agar memilihnya. Caranya dengan
mengobral janji akan memperjuangkan kepentingan rakyat. Setelah pemilu, tidak
lagi terjadi hubungan partai politik dengan rakyat pemilih. Tidak pula terjadi
mekanisme kontrol antara rakyat pemilih dengan parpol. Sehingga parpol dalam
rangka untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan bisa dengan mudah
mengubah program-program yang disodorkan kepada masyarakat. Demikian juga
ketika kekuasaan sudah di dapat rakyat tidak dilibatkan dalam mengelola negara.
Rakyat kembali dirayu manakala musim pemilu tiba. Janji-janji memperjuangkan
aspirasi kembali diobral dalam panggung kampanye. Kedua, dalam demokrasi sangat
memungkinkan terjadinya bentuk dominasi mayoritas atas minoritas. Karena dalam
demokrasi yang diperhatikan adalah jumlah suara, tentu saja dalam setiap
pembuatan perundangan dan kebijakan akan dimenangkan oleh suara mayoritas. Hal
ini sangat memungkinkan terjadinya penindasan mayoritas atas minoritas.
Kemungkinan ini semakin terbuka lebar karena kekuasaan secara pasti dipegang
oleh mayoritas.
Untuk menutup aspek negatif demokrasi
itu, maka diperlukan sebuah mekanisme kontrol yang amat kuat dari masyarakat.
Agar memiliki kekuatan yang cukup, maka kontrol itu harus dilakukan oleh
lembaga-lembaga otonom sebagai perimbangan pada kekuasaan negara. Dalam konteks
ini berarti harus selalu ada lembaga atau individu yang berhadapan dengan
kekuasaan negara. Kekuatan inilah yang disebut dengan oposisi. Kelompok oposisi
ini dianggap sebagai rakyat yang diperintah atau kekuatan sipil. Rakyat harus
diberi kebebasan untuk mengartikulasikan gagasan dan aspirasinya, tanpa
mendapatkan tekanan dan dominasi negara. Konsep penataan masyarakat seperti
inilah yang disebut dengan masyarakat madani. Sehingga adanya kelompok oposisi
merupakan salah satu ciri penting dalam masyarakat madani, bahkan merupakan
sebuah keharusan. Ciri lain dari masyarakat madani adalah pluralisme.
Pluralisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa kekuasaan negara harus lah
dibagi-bagikan kepada berbagai golongan dan tidak dibenarkan adanya monopoli
suatu golongan. Pluralisme juga suatu paham yang menoleransi pemikiran yang
beragam (agama, budaya, peradaban, teknologi dll) dalam masyarakat.
Dari paparan di atas, konsep
masyarakat madani sebenarnya masih merupakan bentuk turunan dari konsep
demokrasi. Sebab, konsep masyarakat madani masih belum beranjak dari ide dasar
demokrasi, yakni kedaulatan dan kekuasaan di tangan rakyat. Konsep masyarakat
madani masih satu lingkup dengan demokrasi dan justru yang bertujuan untuk
menutupi borok-borok demokrasi. Berarti untuk mengkaji konsep masyarakat madani
ini dalam pandangan Islam, harus dikaji terlebih dahulu pandangan demokrasi
dalam pandangan Islam.
B.Masyarakat Madani Di Indonesia
Masyarakat madani jika dipahami
secara sepintas merupakan format kehidupan alternative yang mengedepankan
semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep
masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan
penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang
akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan
menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.
1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Fakta model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial control.Secara esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.Menurut Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia.
1. Strategi yang lebih mementingkan integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.2. Strategi yang lebih mengutamakan reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun ekonomi.
3. Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Fakta model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
C.Masyarakat
Madani Menurut Undang-Undang
Kemudian masyarakat madani menurut
perundang-undangan ialah “bahwa menurut mereka untuk terwujudnya masyarakat
madani yang taat hokum, berperadaban modern, demokratis, makmur adil, dan
bermoral tinggi, diperlukan pegawai negeri yang merupakan unsure aparatur
Negara yang bertugas abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara
adil dan merata, menjaga kesatuan bangsa dengan penuh kesetiaan kepada
pancasila dan perundang-undangan”.
D. Islam Versus Demokrasi
Sumber kemunculan demokrasi adalah
manusia. Dalam demokrasi, yang menjadi pemutus (al haakim) untuk memberikan
penilaian terpuji atau tercelanya benda yang digunakan manusia dan
perbuatan-perbuatannya, adalah akal. Para pencetus demokrasi adalah para
filosof dan pemikir di Eropa, yang muncul tatkala berlangsung pertarungan
sengit antara para kaisar dan raja di Eropa dengan rakyat mereka. Dengan
demikian, jelas bahwa demokrasi adalah buatan manusia dan bahwa pemutus segala
sesuatu adalah akal manusia.
Sedangkan Islam sangat bertolak
belakang dengan demokrasi dalam hal ini. Islam berasal dari Allah, yang telah
diwahyukan-Nya kepada Rasul-Nya Muhammad bin Abdullah saw. Lihat QS. An-Najm:
3-4, QS. Al Qadr: 1.
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
Yang menjadi pemutus dalam Islam, yaitu yang memberikan penilaian terpuji dan tercelanya benda dan perbuatan manusia, adalah Allah SWT. Allah SWT berfirman (yang artinya) :
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”
(QS. Al An’aam : 57)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” (QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah dia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” (QS. An Nisaa’ : 59)
“Tentang apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada Allah” (QS. Asy-Syuraa : 10)
Adapun aqidah yang melahirkan ide
demokrasi, adalah aqidah pemisahan agama dari kehidupan dan negara
(sekularisme). Aqidah ini dibangun di atas prinsip jalan tengah (kompromi)
antara para rohaniwan Kristen–yang diperalat oleh para raja dan kaisar dan
dijadikan tunggangan untuk mengeksploitasi dan menzhalimi rakyat, menghisap
darah mereka atas nama agama, serta menghendaki agar segala urusan tunduk di
bawah peraturan agama - dengan para filosof dan pemikir yang mengingkari
eksistensi agama dan menolak otoritas para rohaniwan.
Aqidah ini tidak mengingkari eksistensi agama,
tetapi hanya menghapuskan perannya untuk mengatur kehidupan bernegara. Dengan
sendirinya konsekuensi aqidah ini ialah memberikan kewenangan kepada manusia
untuk membuat peraturan hidupnya sendiri.
Aqidah inilah yang menjadi alasan pemikiran
(Qaidah Fikriyah) ide-ide Barat. Dari aqidah ini lahir peraturan hidupnya dan
atas asas dasar aqidah ini Barat menentukan orientasi pemikirannya dan
pandangan hidupnya. Dari aqidah ini pula lahir ide demokrasi.
Sedangkan Islam, sangatlah berbeda dengan Barat
dalam hal aqidahnya. Islam dibangun di atas landasan Aqidah Islamiyah, yang
mewajibkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah–yakni hukum-hukum syara’
yang lahir dari Aqidah Islamiyah–dalam seluruh urusan kehidupan dan kenegaraan.
Aqidah ini menerangkan bahwa manusia tidak berhak membuat peraturan hidupnya
sendiri. Manusia hanya berkewajiban menjalani kehidupan menurut peraturan yang
ditetapkan Allah SWT untuk manusia.
Aqidah Islamiyah inilah yang menjadi asas
peradaban/kultur dan pandangan hidup Islam.
E. Demokrasi dalam pandangan Islam
Mengenai ide yang melandasi
demokrasi, sesungguhnya terdapat dua ide yang pokok: Pertama, kedaulatan di
tangan rakyat. Kedua, rakyat sebagai sumber kekuasaan. Demokrasi menetapkan
bahwa rakyatlah yang memiliki dan melaksanakan kehendaknya, bukan para raja dan
kaisar. Rakyatlah yang menjalankan kehendaknya sendiri.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat adalah pemilik
kedaulatan, pemilik dan pelaksana kehendak, maka rakyat berhak membuat hukum
yang merupakan ungkapan dari pelaksanaan kehendak rakyat dan ungkapan kehendak
umum dari mayoritas rakyat. Rakyat membuat hukum melalui para wakilnya yang
mereka pilih untuk membuat hukum sebagai wakil rakyat.
Rakyat berhak menetapkan konstitusi,
peraturan, dan undang-undang apa pun. Rakyat berhak pula membatalkan
konstitusi, peraturan dan hukum apa pun menurut pertimbangan mereka berdasarkan
kemaslahatan yang ada. Dengan demikian rakyat berhak mengubah sistem
pemerintahan dari kerajaan menjadi republik atau sebaliknya, sebagaimana rakyat
juga berhak mengubah sistem republik presidensil menjadi republik parlementer
atau sebaliknya. Hal ini pernah terjadi misalnya di Perancis, Italia, Spanyol,
Yunani, di mana rakyatnya telah mengubah sistem pemerintahan yang ada dari
kerajaan menjadi republik dan dari republik menjadi kerajaan.
Demikian pula rakyat berhak mengubah sistem
ekonomi dari kapitalisme menjadi sosialisme atau sebaliknya. Dan rakyat pun
melalui para wakilnya dianggap berhak menetapkan hukum mengenai bolehnya murtad
dari satu agama kepada agama lain, atau kepada keyakinan yang non-agama
(Animisme/paganisme), sebagaimana rakyat dianggap berhak menetapkan hukum
bolehnya zina, homoseksual, serta mencari nafkah dengan jalan zina dan
homoseksual itu.
Berdasarkan prinsip bahwa rakyat sebagai sumber
kekuasaan, maka rakyat dapat memilih penguasa yang diinginkannya untuk
menerapkan peraturan yang dibuat rakyat dan untuk memutuskan perkara
berdasarkan hukum itu. Rakyat juga berhak memberhentikan penguasa dan
menggantikannya dengan penguasa yang lain. Jadi, rakyatlah yang memiliki
kekuasaan, sedang penguasa mengambil kekuasaannya dari rakyat.
Sementara itu, Islam menyatakan bahwa kedaulatan
adalah di tangan syara’, bukan di tangan umat. Sebab, Allah SWT saja lah yang
layak bertindak sebagai Musyarri’ (pembuat hukum). Umat secara keseluruhan
tidak berhak membuat hukum, walaupun hanya satu hukum. Kalau sekiranya seluruh
umat Islam berkumpul lalu menyepakati bolehnya riba untuk meningkatkan kondisi
perekonomian, atau menyepakati bolehnya lokalisasi perzinaan dengan dalih agar
zina tidak menyebar luas di tengah masyarakat, atau menyepakati penghapusan
kepemilikan individu, atau menyepakati penghapusan puasa Ramadlan agar dapat
meningkatkan produktivitas kerja, atau menyepakati pengabdosian ide kebebasan
individu yang memberikan kebebasan kepada seorang muslim untuk meyakini aqidah
apa saja yang diinginkannya, dan yang memberikan hak kepadanya untuk
mengembangkan hartanya dengan segala cara meskipun haram, yang memberikan
kebebasan berperilaku kepadanya untuk menikmati hidup sesuka hatinya seperti
menenggak khamr dan berzina; maka seluruh kesepakatan ini tidak ada nilainya
sama sekali. Bahkan dalam pandangan Islam seluruh kesepakatan itu tidak senilai
walaupun dengan sebuah sayap nyamuk.
Jika ada sekelompok kaum muslimin yang
menyepakati hal-hal tersebut, maka mereka wajib diperangi sampai mereka
melepaskan diri dari kesepakatan tersebut.
Yang demikian itu karena kaum muslimin dalam
sebuah aktivitas hidup mereka senantiasa wajib terikat dengan perintah dan
larangan Allah. Mereka tidak boleh melakukan suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum-hukum Islam, sebagaimana mereka tidak boleh membuat satu hukum
pun, dikarenakan memang hanya Allah saja yang layak bertindak sebagai
Musyarri’. Allah SWT berfirman :
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya)
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim (pemutus) terhadap
perkara yang mereka perselisihkan” (QS. An Nisaa’ :65)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’aam : 57)
Masih ada puluhan ayat dan hadits lain seperti
QS. An Nisaa’: 60, QS. Al Maidah: 50, QS. An Nuur: 63, QS. An Nisaa’: 59, QS.
Asy-Syuura: 10 dan lain -lain, dengan pengertian yang qath’i (pasti), yang
menegaskan bahwa kedaulatan adalah di tangan syara’, yakni bahwa Allah saja lah
yang menjadi Musyarri’, bahwa manusia tidak boleh membuat hukum, serta bahwa
mereka wajib untuk melaksanakan seluruh aktivitasnya dalam kehidupan ini sesuai
dengan perintah dan larangan Allah.
Islam telah menetapkan bahwa pelaksanaan perintah
dan larangan Allah itu ada di tangan kaum muslimin, sementara pelaksanaan
perintah dan larangan Allah tersebut membutuhkan suatu kekuasaan untuk
melaksanakannya. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa kekuasaan itu ada di
tangan umat Islam. Artinya, bahwa umat memiliki hak memilih penguasa, agar
penguasa itu dapat menegakkan pelaksanaan perintah dan larangan Allah atas
umat.
Prinsip ini diambil dari hadits-hadits mengenai
bai’at, yang menetapkan adanya hak mengangkat khalifah di tangan kaum muslimin
dengan jalan bai’at untuk mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Rasulullah saw bersabda : “Siapa saja yang mati sedang di lehernya tidak
terdapat bai’at (kepada khalifah), berarti dia telah mati jahiliyah” (HR.
Muslim)
Dari Ubadah bin Ash Shamit ra, dia mengatakan :
“Kami telah membai’at Nabi saw untuk mendengar
dan mentaatinya baik dalam hal yang dibenci maupun yang disukai” (HR Bukhari).
Di samping itu masih banyak hadits lain yang
menerangkan bahwa umatlah yang mengangkat penguasa dengan jalan bai’at untuk
mengamalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya.
Meskipun syara’ telah menetapkan bahwa kekuasaan
itu ada di tangan umat –yang diwakilkan kepada seorang khalifah untuk
memerintah umat melalui prosesi bai’at– akan tetapi syara’ tidak memberikan hak
kepada umat untuk memberhentikan penguasa, seperti yang ada dalam sistem
demokrasi.
Ketentuan ini didasarkan pada hadits-hadits yang
mewajibkan taat kepada khalifah meskipun dia berbuat zhalim, selama dia tidak
memerintahkan ma’shiat. Dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, “Rasulullah saw
bersabda: ‘Siapa saja yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang dia benci,
maka hendaklah dia bersabar. Karena sesungguhnya siapa saja yang memisahkan
diri dari jamaah walau sejengkal lalu mati, maka dia mati jahiliyah.”
Yang mempunyai wewenang memberhentikan khalifah
adalah Mahkamah Mazhalim. Ini dikarenakan bahwa terjadinya suatu kasus yang
dapat menjadi alasan diberhentikannya khalifah, merupakan suatu jenis
kezhaliman yang harus dilenyapkan. Dan kasus itu juga dianggap sebagai kasus
yang memerlukan penetapan (itsbat) yang harus dilakukan di hadapan hakim.
Mengingat Mahkamah Mazhalim merupakan lembaga
yang berwenang memutuskan pelenyapan kezhaliman dalam Daulah Islamiyah,
sementara hakimnya memang berwenang untuk menetapkan terjadinya kezhaliman dan memutuskannya,
maka Mahkamah Mazhalim yang berhak memutuskan apakah kasus kezhaliman di atas
telah terjadi atau tidak. Mahkamah Mazhalim pula yang berhak memutuskan
pemberhentian khalifah.
F.Konsep Masyarakat dalam Islam
F.Konsep Masyarakat dalam Islam
Berbeda dengan masyarakat madani yang
mengharuskan adanya kekuatan penyeimbang kekuasaan negara, bagi Islam konsep
masyarakat adalah suatu yang utuh, tak terpecah. Islam memandang bahwa individu
merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dari jama’ah. Jama’ah tak bisa
dipisahkan dari keberadaan Daulah (negara). Bagai tangan yang merupakan bagian
dari tubuh. Dengan amat indahnya Rasulullah menggambarkan dengan sabdanya :
“Perumpamaan orang-orang yang menegakkan
hukum-hukum Allah dan yang melanggarnya adalah bagaikan kaum yang menumpang sebuah
kapal. Sebagian mereka berada di atas sebagian lainnya berada di bawah. Jika
orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang yang
berada di atasnya. Lalu mereka berkata: “Andai saja kami lubangi (kapal ini)
pada bagian kami, tentu kami tak akan menyakiti orang yang berada di atas kami.
Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh mereka yang berada di atas
(padahal mereka tidak menghendaki) akan binasalah seluruhnya. Dan jika mereka
menghendaki keselamatan –dengan mencegahnya– maka akan selamatlah semuanya”
(HR.Bukhori No 2493 dan 2686).
Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar masyarakat madani (islami) sebagaimana di ungkapkan dalam Al-Quran dan sunah adalah meliputi:
1. Persaudaraan
2. Persamaan
3. Toleransi
4. Amar ma’ruf-nahi munkar
5. Musyawarah
6. Keadilan
7. Keseimbangan
Allah Swt berfirman:
Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh pada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu
lebih baik bagi mereka; diantara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka
adalah orang-orang yang fasik. (QS Ali Imran [3]: 110).
Dalam prinsip persaudaraan
mengingatkan pada kejadian manusia yang berasal dari sumber yang sama, baik
laki-laki maupun perempuan (Q 49:10). Di ayat tersebut dijelaskan Nabi Muhammad
Saw seorang mukmin terhadap mukmin lainnyan laksana suatu bangunan yang
unsur-unsurnya saling menguatkan. Hal ini berarati bahwa suatu masyarakat harus
hidup bergotong royang, tolong menolong, dan saling membantu. Dalam prinsip
persamaan menunjukan bahwa manusia itu sama, perbedaan kebangsaan, keturunan,
jenis kelamin, kekayaan dan jabatan, tidak mengubah posisi seseorang di hadapan
Allah Swt. Perbedaan seseorang dengan yang lainnya terletak pada iman dan taqwa
(IMTAQ)nya kepada Allah Swt. Dalam prinsip kemerdekaan meliputi bidang agama,
politik, dan ekonomi.
H. Pilar penyangga atau pendukung
masyarakat MadaniPilar penyangga atau pendukung Masyarakat Madani diantaranya:
1. Lembaga Swadaya Masyarakat(LSM)
2. Pers (media masa, telepisi, radio,dll)
3. Supermasi Hukum
4. Peran Perguruan Tinggi
5. Partai Politik
G. Strategi-strategi yang menunjukan Masyarakat Madani di
Indonesia.
Ada tiga strategi yang menunjukan masyarakat Madani di
Indonesia diantaranya:
1. Strategi lebih mementingkan intregrasi national dan
politik atau stuktural
2. Strategi mengutamakan reformasi sistem politik yang
sekarang di jalankan
3. Strategi membangun masyarakat madani atau kultural
I.Menurut
Para Ahli ( Teori )
(a) Aristoteles (384-322 SM), masyarakat
madani dipahami sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia
politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung
dalam berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan.
(b) Adam Ferguson (1767), ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan social yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara public dan individu.
(b) Adam Ferguson (1767), ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupan bermasyarakat. Pemahamannya ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan social yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara public dan individu.
(c) Thomas Paine (1737-1803), ia
menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yang memiliki
posisi secara diametral dengan Negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis
dari Negara. Dengan demikian, maka Negara harus dibatasi sampai
sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang
diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian,
maka masyarakat madani menurut Paine ini adalah ruang di mana warga dapat
mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya
secara bebas dan tanpa paksaan.
(d) GWF Hegel (1770-1851 M), struktur social terbagi tiga entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikana keharmonisan. Masyarakat madani merupakan alokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara Negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
(d) GWF Hegel (1770-1851 M), struktur social terbagi tiga entitas, yakni keluarga, masyarakat madani, dan Negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikana keharmonisan. Masyarakat madani merupakan alokasi atau tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan ekonomi. Sementara Negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani.
(e) Karl Marx (1818-1883 M),
masyarakat madani sebagai ‘’masyarakat borjuis’’ dalam konteks hubungan
produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia
dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas’’.
(f) Alexis de Tocquevile (1805-1859
M), masyarakat madani sebagai entitas penyeimbang kekuatan Negara. Kekuatan
politik dan masyarakat madani-lah yang menjadikan demokrasi di Amerika
mempunyai daya tahan. Dengan terwujudnya pluralitas, kemandirian dari kapasitas
politik di dalam masyarakat madani, maka warga Negara akan mampu mengimbangi
dan mengontrol kekuatan Negara.
(g) Prof. Nafsir Alatas
Masyarakat Madani berasal dari bahasa arab yang terdiri dari dua kata yaitu
musyarakah dan madinah
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Masyarakat madani adalah sebuah
masyarakat dimana penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai kemanusiaan yang
berlandaskan agama adalah sebagai syarat mutlak dalam perkembangan dan
pertumbuhannya. Sebagai kesatuan social, masyarakat madani merupakan kumpulan
manusia yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasrkan
moralitas keagamaan, baik dalam proses intraksi antar individu maupun secara
kolektif.
Beradasarkan pentingnya moralitas
agama itulah, tampaknya denokrasi bukanlah syarat yang mencukupi untuk
membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami sebagai syarat
demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi social yang otonom pada
gilirannya hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik social dan
politik yang berbahaya, apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia
saling menunjukkan toleransi, termasuk dalam hubungan antar agama, suku,
asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Disinilah eksistensi masyarakat madani,
karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban. Setiap individu dan
kelompok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi
kehidupan bernegara.
B.SARAN
Setelah kita amati dari segi
karakteristik dan pilar penegak masyarakat madani memiliki berbagai kesamaan
dalam konsepsi Islam sebagai agama yang membawa ajaran kedamaian buat umat dan
menjadi agama yang memiliki peradaban yang tinggi seperti yang dilakukan oleh
Nabi Muhammad saw dalam membangun masyarakat Madinah pada zaman dahulu. Dengan
demikian, walaupun terdapat pro-kontra mengenai istilah civil society dan
masyarakat madani dalam makna, akan tetapi dalam substansinya merupakan istilah
yang mempunyai tujuan mulia yakni membentuk suatu tatanan baru dalam masyarakat
yang mempunyai peradaban tinggi.
DAPTAR PUSTAKA
Adi Surya Culla.
1999. Masyrakat Madani : pemikiran, teori, dan
relevansinya dengan cita-cita reformasi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada
Komara Endang. 2008. Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Multazam.
Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Arifin, Syamsul. Islam Indonesia (Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi). Cet. 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2003.
Kusnardi, M. dan Bintan Saragih. 2000. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Arifin, Syamsul. Islam Indonesia (Sinergi Membangun Civil Islam Dalam Bingkai Keadaban Demokrasi). Cet. 1. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, Agustus 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar