I. PENDAHULUAN
Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum
perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus
kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan
dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya
penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai
kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras.
Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu
pemikiran yang komprehensif dari negara dengan political will untuk
memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah
tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk
kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat
tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk
pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah
privat.
Kekerasan yang dimaksudkan oleh
Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan
secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Pembentukan UU PKDRT, yang memuat
kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan
upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang
nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan
sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat
maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan hidup yang
seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan
sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau
perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini
menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai di dalam
rumah tangga.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
II.PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang
pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin dibahas adalah “
Bagaimana prospek penegakan hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam
Rumah Tangga (UU PKDRT) ditinjau dari persepktif sosiologi hukum ?“
III.PEMBAHASAN
Penegakan hukum merupakan pusat
dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum,
pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada
hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili
kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati
bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap
sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun
proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat
tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku
manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa
problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action”
bukan pada “law in the books”
Proses penegakan hukum, dalam
pandangan Soerjono Soekanto , dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor
hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya,
yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya,
yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni
lingkungan sosial dimana hkum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan
dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat.
Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu, Lawrence M. Friedman
melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya
semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari
tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen
substansi hukum(legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture)
serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum
(Legal Structure).
Perumusan norma atau kaidah di dalam
undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5
dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga
terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b.
Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga.
Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa,
kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal
7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau
penderitaan psikis berat pada seseorang.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu.
Kemudian di dalam Pasal 9
dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan
atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga
berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53).
Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa
mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan
mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika
sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena
sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh
masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation (Moore, 1983). Ini membuat
pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak
asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati.
Arena sosial itu sendiri memiliki
hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta
sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari
adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari
perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena
sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi
di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah
tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh
masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous
Social Field (Moore, 1983).
Moore juga mengatakan bahwa di
antara aturan-aturan hukum yang saling bertumpang tindih di dalam arena sosial
tersebut, ada satu hukum yang sangat besar pengaruhnya yaitu hukum negara.
Namun, ini bukan berarti bahwa hukum negara menjadi satu-satunya hukum yang
paling ditaati.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada.
Disini Penulis ingin menyatakan
bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama,
dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu
masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah
budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan
adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini,
budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang
timpang dan hukum melegitimasinya.
Sebagian Sarjana Hukum percaya,
bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat
berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau
bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai
objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang
objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat.
Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh
negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan
superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain.
Pendekatan Sosiologi Hukum
menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam
masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan
berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan
hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara
turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka
bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang
mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”,
yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara.
Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban.
Dalam hal suatu tindak pidana
dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau
keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah
peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk
dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan
pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi
oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik.
Konsekuensi logis dari perumusan
perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT
ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak
memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu
urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah
domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak
bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan
hukum undang-undang ini.
Permasalahan yang muncul dari Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban
kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena
beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan
nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan
lain-lain.
Dengan kondisi seperti tersebut maka
dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU
PKDRT ini sanagat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu.
Dengan Perumusan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai
tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya
pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra
produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri.
Oleh karena itu, kembali kepada ide
dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya
penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus
lebih ditekankan pada upaya optimasi fungsi hukum administrasi negara dalam
masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan
ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan
warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang
bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga.
Negara sepatutnya kembali melihat
pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk
selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut
diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam
prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT,
yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
IV. K E S I M P U L A N / P E N U T U P
Dilihat dari segi sosiologi
hukum, prospek penegakan hukum UU PKDRT akan sulit ditegakkan karena banyak
kendala dalam pelaksanaannya, terutama kultur budaya masyarakat Indonesia yang
patriakhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan
perempuan sebagai makhluk inferior/lemah.
DAFTAR PUSTAKA
Esmi
Warassih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.
Fakih, Mansour, 1998, Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: CIDESINDO.
Hartono, C.F.G. Sunaryati, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni.
Otje Salman, Anton F. Susanto, Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni.