Pengadilan tata usaha negara
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat:
PTUN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di
ibu kota kabupaten atau
kota.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata Usaha Negara
berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui
Keputusan Presiden dengan daerah hukum meliputi wilayah
Kota atau
Kabupaten.
Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN),
Hakim Anggota,
Panitera, dan
Sekretaris
Referensi
Peralihan ke Mahkamah Agung
Perubahan
UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004
tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah
pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di
bawah
Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pembinaan Peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah
eksekutif, yakni Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
Departemen Kehakiman dan HAM. Terhitung sejak
31 Maret 2004, organasi, administrasi, dan finansial PTUN dialihkan dari Departemen Kehakiman dan HAM ke Mahkamah Agung.
Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian,
aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah
Mahkamah Agung.
Referensi
ALAT BUKTI PADA HUKUM ACARA PERADILAN TATA USAHA NEGARA
I. PENDAHULUAN
Dalam
suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah
untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang
berperkara. Hubungan hukum inilah yang harus dibutktikan kebenarannya di
depan sidang pengadilan. Pada prinsipnya, yang harus dibuktikan adalah
semua peristiwa serta hak yang dikemukakan oleh salah satu pihak yang
kebenarannya di bantah oleh pihak lain. Pihak penggugat diberikan
kesempatan terlebih dahulu untuk membuktikan kebenaran dalil gugatannya.
Setelah itu, pihak tergugat diberikan kesempatan untuk membuktikan
kebenaran dalil sangkalannya.
Untuk
membuktikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh para pihak yang
bersengketa diperlukan alat bukti. Alat bukti apa saja yang harus
dibuktikan? Untuk selanjutnya akan dibahas pada pembahasan di bawah ini.
II. PEMBAHASAN
A. Jenis-jenis Alat Bukti
Dalam Peradilan Tata Usaha Negara di kenal 5 macam alat bukti, yaitu :
· Surat atau tulisan
· Keterangan ahli
· Keterangan saksi
· Pengakuan para pihak
· Pengetahuan hakim
1) Surat atau tulisan
a. Pengertian
Menurut
Dr. Sudikno Mertokusumo, SH, berpendapat bahwa alat bukti surat atau
tulisan adalah : “segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang
dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian”.
b. Macam-macam alat bukti surat
Þ Surat sebagai alat bukti tertulis dibedakan menjadi dua, yaitu:
- Akta,
adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian
- Bukan akta
Þ Sedangkan akta itu sendiri ada dua macam, yaitu :
- Akta otentik
- Akta dibawah tangan
Þ Sedangkan menurut UU No.5 / 1986 pasal 101 bahwa surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis, yaitu :
(1) Akta
otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat surat
ini dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya
(2) Akta
dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dapat dijadikan
sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum
di dalamnya
(3) Surat-surat lain yang bukan akta.
Akta otentik ada dua macam, yaitu :
a. Akta yang dibuat oleh pejabat (Ambtelijk Akten)
b. Akta yang dibuat dihadapan pejabat (Partij Akten)
Perbedaan antara Ambtelijk Akten dan Partij Akten
No.
|
Aspek / unsur
|
Ambtelijk Akten
|
Partij Akten
|
1
|
Inisiatif dari
|
Pejabat yang bersang-kutan karena jabatannya
|
Para pihak karena kepentingannya
|
2
|
Isi akta
|
Ditentukan oleh pejabat yang bersangkutan ber-dasarkan UU
|
Ditentukan oleh para pihak
|
3
|
Ditanda tangani oleh
|
Pejabat itu sendiri tanpa pihak lain
|
Para pihak dan pejabat yang bersangkutan serta saksi-saksi
|
4
|
Kekuatan bukti
|
Tidak dapat digugat kecuali dinyatakan palsu
|
Dapat digugat dengan pembuktian sebaliknya
|
Bila
mana salah satu pihak yang bersengketa membantah keaslian alat bukti
surat yang diajukan oleh pihak lawan, maka hakim dapat melakukan
pemeriksaan terhadap bantahan itu dan kemudian mempertimbangkan dalam
putusan akhir mengenai nilai pembuktiannya. Apabila dalam pemeriksaan
persidangan ternyata ada alat bukti tertulis tersebut ada pada badan
atau pejabat TUN, maka hakim dapat memerintahkan badan atau pejabat TUN
tersebut untuk segera menyediakan alat bukti tersebut. Masing-masing
alat bukti yang berupa surat atau tulisan itu mempunyai bobot kekuatan
pembuktian sendiri-sendiri dan hakim yang akan menentukan bobot atau
nilai pembuktian tersebut.
Pada
prinsipnya, kekuatan bukti suatu alat bukti surat terletak pada akta
aslinya. Tindasan, foto copy, dan salinan akta yang aslinya masih ada,
hanya dapat dipercaya apabila tindasan, foto copy dan salinan itu sesuai
dengan aslinya. Dalam hubungan ini, hakim dapat memerintahkan kepada
para pihak agar memperlihatkan aslinya sebagai bahan perbandingan,
tetapi apabila lawan mengakui atau tidak membantahnya maka tindasan,
foto copy, dan salinan akta tersebut mempunyai kekuatan pembukti seperti
yang asli.
2) Keterangan ahli
Di
dalam UU No.5/1986 pasal 102, dijelaskan bahwa : keterangan ahli adalah
pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang
hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.
Kehadiran
seorang ahli di persidangan adalah atas permintaan kedua belah pihak
atau salah satu pihak atau karena jabatannya. Hakim ketua sidang dapat
menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli untuk memberikan keterangan
baik dengan surat maupun tulisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau
janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuan dan pengalamannya (pasal
103 UPTUN). Keterangan ahli diperlukan untuk menambah keyakinan hakim
mengenai suatu persoalan di bidang tertentu, yang memang hanya bisa
dijelaskan oleh ahli di bidang yang bersangkutan, umpamanya ahli di
bidang perbankan, ahli di bidang komputer, ahl balistik dan lain-lain.
Dalam hal ini keterangan juru taksir dapat digolongkan sebagai keterangan ahli. Tetapi mereka yang tidak dapat didengar sebagai saksi (pasal 88 UPTUN) dalam perkara itu, juga tidak dapat diangkat sebagai ahli.
3) Keterangan saksi
Saksi
adalah orang yang memberikan keterangan di muka sidang, dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia
lihat, dengan dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya peristiwa
atau keadaan tersebut.
Setiap
orang pada prinsipnya wajib untuk memberikan kesaksian apabila
dibutuhkan oleh pengadilan, tetapi tidak semua orang dapat menjadi
saksi. Ada beberapa saksi yang dilarang atau tidak diperbolehkan di
dengar keterangannya sebagai saksi sebagaimana di atur dalam pasal 88
UPTUN sebagai berikut :
a. Keluarga
sedarah atau semenda menurut garus keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke dua dari salah satu pihak yang bersengketa
b. Istri atau suami salah satu pihak yang bersangkutan meskipun sudah bercerai
c. Anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. Orang sakit ingatan.
Ada
beberapa orang yang meskipun berhak menjadi saksi tetapi berhak pula
mengundurkan diri sebagai saksi (pasal 89 UPTUN), yaitu :
a. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak
b. Setiap
orang yang karena martabat, pekerjaan atau jabatannya diwajibkan
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal itu.
Adakalanya,
orang yang dijadikan saksi itu tidak mengerti bahasa Indonesia, hakim
dapat menunjuk seseorang yang akan bertindak sebagai penerjemah dan
sebelum melaksanakan tugasnya ia harus di sumpah terlebih dahulu.
Dan apabila seorang saksi dalam keadaan bisu-tuli dan tidak dapat
menulis, maka demi kepentingan pemeriksaan, hakim menunjuk seorang yang
sudah biasa bergaul dengan saksi sebagai juru bahasa. Sebelum
melaksanakan tugasnya, ia wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut
agama dan kepecayaannya.
Sedangkan apabila yang di panggil sebagai saksi adalah pejabat TUN,
maka pejabat tersebut tidak boleh mewakilkan kepada orang lain, ia wajib
datang sendiri di persidangan.
Sehubungan dengan uraian di atas, terdapat perbedaan antara keterangan saksi dengan keterangan ahli. Perbedaan itu diantaranya,
adalah :
Keterangan saksi
1. Seorang
(beberapa) saksi di panggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan
keterangan tentang hal-hal yang ia lihat, di dengar, atau dialami
sendiri
2. Keterangan saksi harus lisan, bila tertulis maka jadi alat bukti tertulis
3. Kedudukan saksi tidak boleh diganti dengan saksi lain kecuali sama-sama melihat, mendengar dan menyaksikan peritiwa itu
Keterangan ahli
1. Seorang
(beberapa) saksi ahli dipanggil kemuka pengadilan untuk mengemukakan
keterangan berdasarkan keahliannya terhadap suatu peristiwa
2. Keterangan saksi atau ahli bisa secara lisan ataupun tertulis
3. Kedudukan seorang ahli dapat diganti dengan ahli yang lain yang sesuai dengan keahliannya.
4) Pengakuan para pihak
“Pengakuan
adalah keterangan sepihak dari salah satu pihak dalam suatu perkara,
dimana ia mengakui apa yang dikemukakan oleh pihak lawan atau sebagian
dari apa yang dikemukakan oleh pihak lawan”.
Menurut
pasal 105 UU No.5/1986, pengakuan para pihak tidak dapat ditarik
kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh
hakim. Pengakuan yang diberikan di depan persidangan oleh pihak yang
bersengketa sendiri atau oleh wakilnya yang diberi kuasa secara khusus,
untuk itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna terhadap pihak yang
memberikan pengakuan itu. Hal ini berarti hakim harus menganggap bahwa
dalil-dalil yang telah diakui itu benar, kendatipun belum tentu benar.
Pengakuan yang diberikan di luar persidangan, nilai pembuktiannya
diserahkan kepada pertimbangan hakim. Dengan kata lain pengakuan yang
diberikan diluar persidangan merupakan alat bukti bebas dan
konsekuensinya hakim leluasa untuk menilai alat bukti tersebut, atau
bisa juga hakim hanya menganggap hal itu sebagai alat bukti permulaan
saja.
Terserah kepada hakim untuk menerima atau tidak menerimanya.
5) Pengetahuan hakim
Pengetahuan hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Melihat pada pengertian ini maka pengetahuan hakim dapat juga diartikan
sebagai apa yang dilihat, didengar dan disaksikan oleh hakim dalam
persidangan. Misalnya : sikap, perilaku, emosional dan tindakan para
pihak dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para
pihak yang diperoleh di luar persidangan tidak dapat dijadikan bukti
dalam memutus perkara.
B. Sistem Hukum Pembuktian Hukum Tata Usaha Negara
Ada
perbedaan sistem antara sistem hukum pembuktian dalam hukum acara TUN
dengan acara perdata. Dalam hukum acara TUN, dengan memperhatikan segala
sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan
hal yang diajukan oleh para pihak, hakim TUN bebas untuk menentukan :
1. Apa yang harus dibuktikan
2. Siapa
yang harus dibebani pembuktian, hal apa saja yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh hakim
sendiri
3. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
4. Kekuatan pembuktian bukti yang telah diajukan
Umumnya, sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara TUN adalah sistem “Vrij bewijsleer”,
yakni suatu ajaran pembuktian bebas dalam rangka memperoleh kebenaran
materiil. Apabila kita baca pasal 100 UU No.5/1986, maka dapatlah
disimpulkan bahwa hukum acara TUN Indonesia menganut ajaran pembuktian
bebas yang terbatas. Karena alat-alat bukti yang digunakan itu sudah
ditentukan secara limitatif dalam pasal tersebut. Selain itu hakim juga
dibatasi kewenangannya dalam menilai sahnya pembuktian, yakni paling
sedikit 2 alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Sedangkan pembuktian
dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran
formil.
III. KESIMPULAN
Macam-macam alat bukti di PTUN :
· Surat atau tulisan
· Keterangan ahli
· Keterangan saksi
· Pengakuan para pihak
Sesuai
dengan pasal 100 UU No.5/1986 dapat disimpulkan bahwa hukum acara TUN
itu menganut ajaran pembuktian bebas yang terbatas karena alat-alat
bukti yang digunakan itu sudah ditentukan secara limitatif dalam pasal
tersebut, begitu juga sesuai dengan pasal 107 UU No.5/1986 hakim
dibatasi kewenangannya menilai sahnya pembuktian yaitu paling sedikit 2
alat bukti berdasarkan keyakinannya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Pitto, Prof., Pembuktian dan Kadaluarsa, cet.I, Intermasa, Jakarta, 1978.
Mukti Arto, Drs. H., SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996.
Rozali Abdullah, SH., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996.
Sudikno Mertokusumo, Dr. SH., Hukum Acara Perdata Indonesia, cet. I., Yogyakarta : 1972.
Teguh Samudera, SH., Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Bandung, 1992.
Undang-Undang No.5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
Wicipto Setiadi, SH., MH., Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara, Suatu Perbandingan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Yos Johan Utama, SH., M.Hum., Kiat Berperkara di Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Penerbbit UNDIP Semarang, t.th.